Fanfic : BoBoiBoy

Chapter 3 : Uncovered

Fang POV

Ukh… kenapa aku bisa terjebak dengan kegilaan tiga kembaran Gempa dan Air ini? Huh, sudah ku bilang seharusnya dia pulang bareng aku juga. Tapi, mungkinkah Gempa memperkirakan kalau hal seperti ini akan terjadi? Makanya itu, ia menyuruhku pulang duluan.

Bisa saja sih, soalnya firasat anak itu yang kuat. Tapi, apakah itu mungkin? Arrrghh… memikirkannya saja membuatku pusing.

Jujur saja, saat Taufan menelponku tadi, aku sudah merasa suatu hal terjadi. Sebab, sangat jarang Taufan menelponku apalagi, dengan… nada dinginnya. Tidak. Aku tidak takut. Hanya saja, aku agak… merinding.

Dan benar saja, dia mengatakan Gempa belum pulang. Aku langsung panik. Itu tandanya Yaya juga belum pulang. Mereka berdua itu sahabatku sejak kecil, begitu pula dengan si stoic, Taufan, dan Api. Pastinya aku khawatir dong? Jadi, ku iyakan saja saat mereka mau ke rumahku.

Aku menunggu mereka dengan was-was. Hujan hari ini seperti badai. Dan bila mereka sampai di rumahku, pasti akan tetap basah meskipun pakai payung.

Dan terbukti pikiranku. Sampainya mereka di rumahku, mereka seperti orang yang tidak memakai payung. Padahal, jelas-jelas ada payung yang terbuka di tangan mereka masing-masing tapi, baju mereka setengah basah.

Aku yang di ambang pintu saja sudah menggigil kedinginan, apalagi mereka bertiga. Jadi, aku menyuruh mereka untuk mengganti baju dulu supaya tidak masuk angin. Bisa-bisa, mereka bertiga kena wejangan khas dari Gempa, kalau ketahuan mandi hujan.

Awalnya mereka tidak mau. Tapi, setelah kusebut nama Gempa, mereka langsung mengangguk. Bahkan si stoic itu juga menuruti. Khukhukhukhu… senang juga melihat wajah sebalnya. Mereka memakai pakaian yang memang tertinggal -saat acara bermalam tiga bulan lalu- di rumahku.

Penampilan mereka tidak terlalu banyak berubah dari sebelumnya. Mungkin di karenakan, jaket dan topi yang merupakan identitas mereka tidak berganti. Awalnya kukira mereka memakai jaket dan topi yang basah. Ternyata, jaket dan topi khas mereka itu juga tertinggal di sini. Dan mereka langsung saja meminta kunci mobil.

Aku langsung menegang. Serius!? Mereka mau naik mobil di tengah hujan seperti ini?
Tapi, karna ini memang darurat, aku mengiyakan. Dan syaratnya, akulah yang harus menyetir. Meskipun masih SMP, aku, si stoic dan Gempa bisa mengemudikan mobil dengan benar. Tentu saja kami telah diajarkan oleh ayahku. Ayah si kembar tidak ada kesempatan untuk ngajarin sih. Lain cerita jika Taufan, Api, atau Air yang membawanya. Akan kukatakan, itu sangat MEMBAHAYAKAN.

Mereka tidak mengiyakan ataupun menolak. Jadi, aku langsung mengambil kunci dan mengeluarkan mobil dari garasi. Mereka bertiga mengikutiku. Dan saat aku akan mengemudikan mobil ke sekolah, si stoic langsung memerintahku untuk menyingkir.

Hell no!

Aku langsung saja menolaknya. Pantasan saja mereka tidak mengangguk maupun menggeleng. Mungkin Taufan dan Api sudah kena ancaman. Bisa kebayangkan, gimana seorang yang dalam keadaan emosi membawa mobil? Nyawaku, Taufan dan Api, terlebih mobil ayahku yang menjadi taruhannya.

Sayang seribu sayang, si stoic mengancamku dengan sesuatu hal yang sangat berarti dalam hidupku. Sesuatu yang apabila hilang, entah aku bisa bertahan di dunia kelam ini atau tidak. You know what I mean! Yes, you know it!

Mau tidak mau aku membiarkannya menyetir dengan syarat, tidak ngebut. Apalagi hujannya seperti badai. Aku juga masih sayang nyawaku jika berani menghalangi keinginan si stoic ini. Dan aku pun yakin, banyak readers yang mengaggapku terlalu lebay. Salahkan saja Author sableng yang menulis ini. (Author : *pundungdipojokan*)

Dan sumpah ya! Meskipun sekarang aku, si stoic, Taufan, dan Api sampai di sekolah dengan selamat juga berkali-kali nyaris mati selama di mobil, aku tidak bisa menetralkan degub-an jantungku dengan cepat. Untungnya aku tidak punya riwayat penyakit jantung. Kalau tidak, masa 'Siswa terpopuler di SMP Pulai Rintis mati kena serangan jantung, hanya karna menjadi penumpang di mobil yang di kemudikan Halilintar'. Sungguh, itu sangat tidak elit.

"Oi, Fang! Ayo cepat!" Api meneriakiku dari depan.

Cih, memoriku mengenai kejadian tadi buyar sudah. Segera saja kususul ketiga anak kembar itu yang sedang memeriksa setiap kelas yang berada di koridor kelas X. Juga ruang OSIS.

Baiklah! Gempa, Yaya, aku si Fang yang terpopuler nan tampan ini, akan menyelamatkan kalian.

Fang POV End



oOoOoOoOoOo



Apa yang akan kau lakukan bila tidak menemukan orang yang kau cari? Bingung dan panik pastinya, bukan? Dan hal itu di rasakan oleh pemuda ini.

"Aish… si Adu du ke mana lagi? Katanya hanya ngecek anak renang dah pulang atau tidak di ruang ganti. Nyatanya? Ruang ganti pun kosong." Gumam pemuda itu diikuti sumpah serapah terhadap pemuda yang bernama Adu du.

Pemuda itu berjalan keluar dari ruang ganti. Ia terus berjalan hingga sampai di depan pintu yang menghubungkan dengan kolam renang. Ingin memastikan orang yang dicari ada di dalam atau tidak.

"ARRGGHH…. APA-APAAN INI? DI MANA MEREKA?"

'Eh? Ada orang di dalam?' Batin pemuda itu sedikit tersentak.

"Sabar kak Hali."

"Di ruang OSIS tidak ada. Di kelas-kelas tidak ada. Di ruang guru tidak ada. Di ruang klub melukis tidak ada. Di toilet juga tidak ada. Bahkan… sampai kita di gedung renang dan di kolam renangnya pun TIDAK ADA!"

"Kak Halilin yang tenang dong."

'Umm… kayaknya ada beberapa orang di dalam. Tapi, kok kayak kesal gitu ya?' Batin si pemuda. Dan saking penasarannya, pemuda itu menguping pembicaraan orang-orang yang berada di dalam ruangan tempat kolam renang berada.

"Cih! Telpon tidak diangkat lagi."

"Siapa yang kau telpon, Fang?"

"Fang? Jadi dia juga ada di dalam? Untuk apa? Dan… kok rasanya seperti suara Gempa?" Gumam pemuda itu lagi sambil berpose ala detective. Di mana telunjuk dan ibu jarinya berada di dagu.

"Yah, Airlah. Memangnya siapa lagi?"

"HEH! AKU CUMA NANYA! GAK USAH KETUS KAYA GITU, BISA GAK!"

"Ah! Itu suara Api. Berarti, yang tadi marah-marah itu si Halilintar. Mungkin ada Taufan atau Gempa juga di dalam." Kata pemuda itu berbisik.

Hening.

'Kok tidak ada suara lagi?' Batin pemuda itu bingung.

"Kau tidak mencoba telpon Gempa dan Yaya?"

"Aku sudah menelpon mereka. Dan hanya suara operator yang mengatakan 'Panggilan yang anda tuju tidak dapat di hubungi. Silahkan mencoba panggilan beberapa saat lagi'. PUUAASS!"

"Begitu toh, jadi mereka mencari Gempa, Yaya dan Air? Jadi, tadi itu suaranya Taufan?" Pemuda itu masih saja berbicara pada dirinya sendiri. "Ah, apa kemungkinan Adu du bersama mereka ya?" Imbuhnya seakan-akan mendapatkan jalan keluar, pemuda itu mengembangkan senyumannya.

"Kau telpon Air berkali-kali pun, takkan di jawabnya."

'Lebih baik aku masuk.' Pikir pemuda itu dan mulai menapaki kedua tungkai panjangnya ke balik pintu.

Tap Tap Tap

Masuknya pemuda itu, membuat Ketiga kembar Boboiboy dan Fang berhenti beradu mulut. Mereka berempat menatap pemuda bersurai violet itu seperti menatap hantu.

"Ka-kau…"

"Hai, Fang! Oh, hai kembarannya Gempa!" Sapaan riang di ucapkan pemuda itu. "Umm… Halilintar…" ucapnya sambil menunjuk Halilintar. "Taufan dan… Api." imbuhnya juga sambil menunjuk Taufan dan Api.

"Kak Probe?"

"Iya, ini aku Fang." Ucap pemuda yang di panggil Probe itu dengan nada yang riang.

"Um… kok rasanya aku pernah lihat ya?" Api bertanya entah pada siapa sambil berpose a la detective.

CTAK CTAK

Perempatan siku-siku bertengger di pelipis Probe. "Kau tidak mengenalku!" Serunya dengan nada yang agak dilebih-lebihkan.

"Um… Entahlah!" Cuek Api sambil mengalihkan pandangannya.

"Hey, aku itu dikenal satu SMP Pulau Rintis loh. Bahkan SMP lain pun juga mengenalku." Pancing Probe pada Api yang masih mengalihkan pandangannya dari Probe.

"Lebih terkenal juga kak Halilin dan kak Gempa." Balas Api polos.

CTAK CTAK CTAK

Bertambahlah perempatan siku-siku di pelipis Probe. Bahkan jika ini diibaratkan Anime, pastinya wajah Probe sudah merah padam dan kepalanya berasap layaknya gunung yang akan meletus.

"BISA-BISANYA KAU TI–"

"Dia Probe, Api. Dia itu Ketua OSIS sebelum Gempa. Sekarang bisa kita katakan, Mantan Ketua OSIS." Fang memotong ucapan Probe. Berusaha supaya Probe tidak meluapkan emosinya. Padahal Fang sendiri emosinya naik saat Api melupakan hal yang seharusnya diketahui seluruh penghuni SMP Pulau Rintis.

"Ah! Yayaya… aku ingat. Kak Probe. Siswa kelas 9A. Mantan Ketua OSIS yang agak lebay." Jelas Api dengan cibiran di kalimat terakhir. Dan sukses mendapat jitakan dari Fang, lagi. Yang pertama di mobil, ingat!

"Mana kak Adu du?" Tanya Fang sembari mengedarkan pandangannya ke sekeliling Probe. Fang bertanya begitu karna di mana ada Probe, pasti ada Adu du. Begitu pula sebaliknya.

"Ellehh… mana ku tahu. Aku juga mencarinya sejak tadi." Cibir Probe yang dilanjutkan dengan sumpah serapah untuk Adu du.

GREEBB

"!?"

"O-oii… akh.. ap-apha ya-akh… lephas-akkhan…"

Semua membeku.

Membeku melihat tatapan Halilintar yang sangat dingin, tajam nan menusuk yang ditujukan pada Probe. Membeku melihat wajah kesakitan Probe yang sedang dicekik oleh Halilintar.

"Kak Hali! Lepaskan tangan kak Hali dari kak Probe!" Perintah Taufan dengan nada panik, setelah sadar akan kebekuannya.

DUAGH

BRUKH

"Ish…"

Halilintar bangun dari jatunya dan meringis sambil memegang pipinya yang mendapat 'hadiah' dari Fang. Iris coklatnya, menatap Fang tajam. Sedangkan Fang, ia tak memperdulikan tatapan itu. Pemuda bersurai dark purple itu membantu Probe yang hampir kehilangan nafasnya.

"Uhuk uhuk… Ish… ini sangat menyakitkan." Suara serak Probe terdengar di sela-sela batuknya.

"Ya Allah! Kak Halilin! Apa yang kak Halilin lakukan?" seru Api yang baru bisa menghilangkan kebekuannya. Pemuda bertopi menghadap depan agak ke atas ini, langsung menghampiri Halilintar yang berdiri dibantu sama Taufan.

"Cih! Shut up!"

Api langsung terdiam begitu mendengar desissan tajam dari Halilintar. Api menatap Fang yang masih membantu Probe menetralkan nafasnya.

"Kenapa kak Hali mencekik kak Probe, hmm?"

Api langsung menolehkan pandangannya ke Taufan yang berkata lembut pada Halilintar. Entah mengapa, Api merasa melihat Gempa yang sedang tersenyum. Halilintar yang mendengar pertanyaan Taufan pun juga menoleh pada pemuda identik dengannya itu. Halilintar juga tak kalah terkejutnya melihat senyuman Taufan yang mirip dengan Gempa.

Mereka memang mirip. Sudah pasti jika tersenyum akan terlihat sama. Dan yang membuat Halilintar juga Api heran, bagaimana Taufan bisa tersenyum sebegitu lembutnya seperti Gempa? Untuk apa juga dia tersenyum seperti itu? Halilintar dan Api terus memandang Taufan, hingga pemuda bertopi kesamping itu menunduk.

"Hihihihi… Hahahaha… BWAHAHAHAHAHA…"

Tidak hanya Halilintar dan Api yang terkejut dengan kikikan dan tawaan dari Taufan, bahkan Fang dan Probe juga terkejut di buatnya. Suara Taufan menggema di kolam renang indoor ini. Entah bagaimana bisa, Author pun tak tahu.

Sebenarnya, bukan hal yang baru bila melihat Taufan tertawa. Tapi kali ini, tawanya agak ganjil. Seperti tawa…

…Frustasi?

Halilintar dan Api pun mendekat ke Fang dan Probe. Mereka berdua sebenarnya agak takut. Tapi, Halilintar menyembunyikan sedikit ketakutannya di dalam wajah datarnya. Sedangkan Api, ia agak gemetaran melihat sang kakak kedua tertawa layaknya iblis -menurutnya-.

"Oi Stoic! Taufan kenapa?" Bisik Fang pada Halilintar yang hanya dibalas keheningan. Dan karna keheningan itu, membuat Fang menegak ludahnya paksa.

Probe yang melihat kembaran kedua Boboiboy bersaudara juga merinding. Pasalnya, ia mengetahui kalau Taufan itu, anak yang usil dan murah senyum (baca : tertawa). Namun sekarang, tampaknya ada jiwa iblis di dalam tubuh kembaran sang Ketua Osis itu.

"Kak Taufan kenapa, kak Halilin?" Bisik Api dengan nada yang agak bergetar.

"Otaknya terlalu banyak berfikir. Makanya jadi kayak gitu. Biasa aja tuh." Jawab Halilintar cuek juga tenang. Seperti tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Tapi, lain di mulut lain di hati, lohh…

'Sialan! Kenapa dia sampai sepanik itu? Gaahhh… ini gawat! Tenang Taufan! Tenang!' Batin Halilintar panic dan berusaha menelepati Taufan lewat pikirannya. Sepertinya ia sendiri tak sadar akan perbuatannya pada Probe tadi.

Kenapa Halilintar sampai sepanik itu? Sedikit penjelasan. Kalau Halilintar panik, ia pasti akan langsung menghajar orang yang membuatnya curiga. Contohnya, kasus mencekik Probe tadi. Bila Taufan yang panik, ia pasti akan tertawa cekikikan tidak jelas. Bahkan sampai berkata-kata layaknya seorang phsyco. Makanya itu Halilintar panik banget. Kalau Gempa, Api, dan Air… masih rahasia. Yosh, Back To Story!

"Hehehe… maaf ya~ hahaha… aku… aku geli aja lihat kak Hali mencekik kak Probe. Hahaha… padahal hanya karna dengar nama kak Adu du, kak Hali jadi marah. Hehehe…" Ujar Taufan diselingi kekehan kecil. Taufan merasa ia harus menenangkan dirinya supaya tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

"Memangnya kenapa dengan Adu du?" Tanya Probe spontan. Pemuda bersurai violet ini merasa ada sesuatu yang tengah terjadi. Kenapa Halilintar mencekiknya hanya karena menyebutkan nama Adu du, sang sahabat? Memangnya Adu du ada masalah apa dengan si kembar pertama?

Hening.

Lagi, lagi dan lagi, hening yang menjawab. Entah kenapa, tidak ada yang bersuara setelah Probe bertanya. Bukannya tidak mau menjawab. Tapi, mereka tidak tahu harus menjawab apa. Bahkan, Halilintar yang menyerang Probe pun hanya terdiam.

'Benar juga ya. Kenapa aku langsung marah setelah nama Adu du terdengar? Dekat aja tidak. Apa mungkin karna dia, Air jadi terlambat pulang. Dan hal itu yang membuatku marah? Umh… masuk akal.' Pikir Halilintar yang juga mencari jawaban berdasarkan logika yang ada.

"Oooii… kenapa kalian diam?" Seru Probe sebal.

"Apa kak Adu du juga belum pulang?" Tanya Taufan sembari mendekat ke Probe.

"Tentu saja be– Hey! Kenapa mengalihkan pembicaraan? Kutanya sekali lagi, kenapa dengan Adu du?" Bentak Probe.

"Karna dia… Air belum pulang."

Suara dingin nan menusuk itu membuat keempat pemuda lainnya melupakan cara bernafas.

"Karna dia juga… Gempa belum pulang karna mencari Air."

Suara itu pun kembali terdengar. Keempat pemuda yang tadi melupakan cara bernafas pun, mulai mengeluarkan keringat dingin.

"Dan dia harus bertanggung jawab karnanya."

JDEEERRR

"HUWAAA…. YA ALLAH!"

Keempat pemuda itu terperanjat mendengarnya. Bukan. Bukan suara petir. Melainkan suara jeritan seorang gadis yang terdengar setelah suara petir menggema.

Halilintar yang sedari tadi berkata dengan dinginnya terdiam. Dia pun kaget sama seperti kedua adiknya, teman sejak kecilnya, juga kakak kelasnya. Namun, suara itu benar-benar familiar. Dan si kembar pertama itu yakin kalau keempat orang di sekitarnya juga mendengar suara gadis itu.

Halilintar menatap Taufan, Api, dan Fang. Begitu pula sebaliknya. Probe hanya menatap keempat juniornya yang saling menatap.

"Itu pasti Yaya."

Dan setelah diucapkannya tiga kata itu, keempat junior Probe langsung keluar dari kolam renang indoor. Probe yang tidak mau ditinggal sendiri pun langsung mengejar keempatnya.

"OIII… TUNGGUUU!"

Halilintar POV

Lari.

Ya, sekarang aku sedang berlari. Berlari menuju suara jeritan seorang gadis yang kuyakini itu suara Yaya. Entah ke mana arah tujuanku aku terus berlari. Menyusuri jalan di luar gedung renang yang masih terlindungi dengan atap.

Aku hanya mengikuti insting. Terdengar seperti hewan memang. Tapi, itulah aku. Insting atau dalam bahasa manusianya intuisi-ku sangat kuat. Dan dengan itulah aku biasa memenangkan pertandingan karate.

"Kak Hali~, tunggu kami~"

Kudengar Taufan menyuruhku untuk menunggunya. Tapi, tak kuperdulikan kata-kata itu. Aku yakin mereka bisa mengikuti kecepatan berlariku. Aku yakin mereka dapat mengejarku.

Berlari berbelok dan terus berlari. Itulah yang kulakukan sekarang. Hingga aku sampai di suatu halaman yang luas dengan suatu bangunan kecil yang menyerupai gudang. Dan berjarak sekitar kurang dari 20 meter di seberang gedung yang kupijaki sekarang.

DRAP DRAP DRAP

Aku berhenti berlari. Nafasku masih memburu saat kulihat ada beberapa orang yang berada di teras bangunan kecil yang kulihat.

"Tidak… tidak mungkin…" kurasakan seluruh suaraku hilang. Kakiku gemetaran. Mataku membelalak melihat pemandangan yang sangat tidak ingin kulihat.

DRAP DRAP DRAP

DRAP DRAP DRAP

DRAP DRAP DRAP

DRAP DRAP DRAP

JDAARRR JDAARRR

"GEMPAAAA!"

"AIIIIIRRR!"

Aku hanya mendengar teriakan itu di suarakan oleh keempat orang yang bersamaku tadi. Dan juga kudengan teriakan yang sama di waktu yang sama pula, namun agak jauh di seberang. Nampaknya orang-orang yang ada di sana juga lebih terkejut dari aku dan yang lainnya.

Aku hanya menatap kosong pemandangan di depan. Ingin ku ke sana, tapi aku tidak ingin melihat kenyataan yang ada. Aku memejamkan mataku.

Aku berharap ketika membuka mata, akan ada Gempa dan dan Air yang sedang tersenyum di depanku.

Aku berharap ketika membuka mata, aku berada di rumah, di meja makan bersama keempat adik kembarku.

Aku berharap ketika membuka mata, ada Taufan dan Air yang mengusiliku lalu Gempa yang melerainya.

Aku berharap ketika membuka mata, semua kejadian yang kurasakan sedari tadi hanya mimpi atau mungkin ilusi semata.

Dan saat aku membuka mata…

ZRRAAASSSSSHHHHH

…hanya butiran hujan yang semakin banyak hingga berkabut yang menyapa. Suara hujan semakin mempersulitku untuk mendengar teriakan khawatir orang-orang yang ada di bangunan kecil itu. Aku hanya melihat siluet gadis yang nampaknya itu Yaya, sedang mencoba untuk membangunkan salah satu adikku. Aku tidak yakin siapa yang sedang Yaya bangunkan.

Airkah? Atau Gempa? Sebab, salah satu dari Air atau Gempa telah bangun duluan dan membantu Yaya membawanya. Tunggu! Jaket itu! Hujan sialan! Pandanganku sangat terbatas karnanya. Kalau yang sedang di papah itu Gempa, berarti Air baik-baik saja. Ada lagi dua orang di sana selain Yaya, Air dan Gempa.

Apa yang terjadi di sana?

Apa mereka semua baik-baik saja?

Apa Gempa hanya tertidur?

PLOK PLOK PLOK

Suara tepukan itu membuatku tersadar dari pikiranku. Aku menolehkan kepala. Menatap datar pada seorang yang samar-samar kukenal. Tapi siapa?

Halilintar POV End

Kelima pemuda menatap tiga pemuda lain di depannya. Begitu pula sebaliknya. Mereka saling menatap dengan berbagai macam tatapan. Mengejek. Bingung. Heran. Penasaran. Geram. Marah. Dan lainnya.

"Tak kusangka, Kembaran si Ketua OSIS, Wakil Ketua OSIS, dan Mantan Ketua OSIS pun ada di sini." Salah satu dari tiga pemuda yang berada di hadapan Halilintar, Taufan, Api, Fang dan Probe mengeluarkan suaranya.

"Ejojo! Ngapain kau di sini?" Desis Probe dengan iris pink kemerahan miliknya yang menatap tajam pada Ejojo.

"Kau kenal mereka, kak Probe?"

"Tentu saja! Mereka juga seangkatan denganku. Apalagi Ejojo merupakan Wakilku saat menjabat sebagai Ketua OSIS. Tapi, itu sebelum ia dikeluarkan dari sekolah." Kata Probe dan kemudian melanjutkan, "Dan dua orang di belakangnya, siswa kelas 9C. Petai dan Bago go"

Tiba-tiba Probe menyadari sesuatu. "Hey! Apa kalian tidak mengenal mereka?" Tanya Probe pada keempat juniornya.

"Aku pastinya kenal." Jawab Fang.

"Aku tidak kenal."

"Aku tidak mengingatnya."

"Hehehe… nampaknya aku lupa."

"Heh? Kalian bertiga– khususnya si merah dan si biru ini…" Ucap Ejojo sambil menunjuk Halilintar dan Taufan. "… melupakanku, hm?" Tanya Ejojo sangsi.

Bukankah mereka pernah bertemu sebelumnya? Mereka juga satu sekolah, tapi itu dulu. Dan seperti yang Probe katakan, dia kan Mantan Wakil Ketua OSIS. Masa sudah lupa saja sih. Kurang lebih itulah yang dipikirkan Ejojo.

"Hehehe… apa mungkin mereka juga lupa siapa yang membuat kembaran mereka masuk rumah sakit setahun lalu, Bos?" Pertanyaan sarkastik itu diucapkan salah satu pemuda di belakang Ejojo, Bago go.

DEGH

"Yah… nampaknya mereka melupakanku. Padahal baru setahun loh~"

Halilintar dan Taufan terbelalak mendengarnya. Nafas mereka memburu. Tubuh mereka menegang. Emosi mereka memuncak. Tidak! Tidak mungkin! Jadi… orang di depan mereka ini…

Kenapa mereka bisa lupa begitu saja? Dan… bagaimana bisa dia di sini?

"Ma-maksudnya apa? Apa arti dari perkataannya, kak Halilin, kak Taufan? Kenapa… kenapa dia mengatakan seperti itu? Siapa yang…" Api yang bertanya tanpa henti dengan nada agak bergetar, langsung menghentikan perkataannya begitu mengingat sesuatu hal.

Sesuatu hal yang membuatnya takut akan kehilangan.

Sesuatu hal yang membuatnya menangis seperti orang gila.

Sesuatu hal yang membuatnya hanya mengeluarkan sepatah dua kata sehari.

Sesuatu hal yang membuatnya bertransformasi menjadi sang kakak pertama.

Sesuatu hal yang membuatnya dan saudaranya yang lain terpuruk dalam kesedihan.

Sesuatu hal yang membuat kedua orang tua mereka meninggalkan pekerjaan selama sebulan penuh.
Dan sesuatu hal itu, tidak pernah ia tahu bagaimana kejadiannya, begitu pula Air. Mereka berdua tidak pernah tahu kejadian jelasnya. Hanya ketiga kakaknya lah, atau mungkin kakak pertama dan keduanyalah yang mengetahui kejadian persisnya.

Orang tua mereka juga tau, tapi merahasiakan hal itu darinya dan Air. Api juga tidak ingin mengingat hal buruk itu lagi. Insiden setahun lalu.

Dengan pertanyaan yang terlontar dari salah satu pemuda di belakang Ejojo, yang Probe sebut dengan Bago go. Akhirnya Api mengetahui pelaku yang telah membuat sang kakak ketiga nyaris menghampiri maut. Dan mungkin saja, orang yang sama jugalah yang membuat kedua saudaranya terlambat pulang, bukannya Adu du.

Fang yang sedari tadi menonton dalam diam juga terkejut. Sedikitnya, ia mengetahui maksud dari perkataan Bago go. Jadi, Ejojo lah dalangnya. Pantasan saja ia langsung dikeluarkan dari sekolah dengan tidak terhormat. Dan karna posisi Wakil Ketua OSIS kosong, digantikan oleh teman seangkatan Probe yang juga anggota OSIS.

'Ini gawat! Apa yang akan Halilintar dan Taufan lakukan? Tidak! Apakah ini akan menjadi hari terburukku?' Batin Fang panik, kacau, takut, merana, dan lain sebagainya.

Probe yang juga menonton seperti Fang, hanya terdiam. Ia masih berusaha mengumpulkan semua informasi yang ia dapat. Ia juga menggabungkan semua informasi itu berdasarkan informasi yang berada di otak jeniusnya. Sesungguhnya, ia pun bingung dengan semua hal yang terjadi dalam satu hari ini.

Padahal ia tadi hanya menunggu Adu du untuk akan pulang bersama, dikarenakan mereka tetangga. Adu du yang tidak kunjung balik, membuatnya harus mencari sang sahabat dan kemudian bertemu dengan tiga kembaran sang Ketua OSIS dan sang Wakil Ketua OSIS, yang sedang mencari Ketua OSIS dan si kembar bungsu, juga sang Sekertaris OSIS. Dan berakhir di sini. Dihadapan teman seangkatannya, dulu.

Pemuda bersurai violet ini merasa ganjil dengan situasi sekarang. Belum lagi tadi dia melihat Gempa dan kembarannya, Air, yang terjatuh ke tanah. Juga melihat Yaya, dan sang sahabat sendiri. Ada juga pemuda pirang, yang kalau tidak salah ia ingat bernama Ochobot.

'Jadi, Ejojo pelakunya. Hm… aku mengerti sekarang. Berarti, ini bentuk balas dendamnya, heh!? Tunggu? Kalau begitu, kenapa aku dan mereka malah berdiam di sini?'

"Oooiii… tidak ada waktu untuk meladeni mereka. Ayo cepat kita ke gudang itu!" Seruan Probe dibalas dengan gerakan cepat Halilintar dan Taufan yang langsung menuju gudang yang berada di seberang gedung renang itu.

Halilintar dan Taufan tidak mau berpikir jauh mengenai mengapa orang yang seharusnya sudah menghilang dari kehidupan mereka ada di sini. Meskipun mereka berdua penasaran. Dan mereka juga yakin, masalah yang terjadi sekarang, berhubungan dengan pemuda bersurai merah bata itu. Satu yang mereka pikirkan bersama saat ini.

'Jika terjadi sesuatu pada adik-adikku, akan kubuat dia, dan anak buahnya menderita.'



oOoOoOoOoOo



Gempa POV

Gelap.

Di mana ini? Kenapa gelap sekali?

Aku berjalan entah ke mana. Semuanya gelap. Tidak ada cahaya sama sekali. Meski begitu, aku masih dapat dengan jelas melihat kedua tangan, kedua kaki, dan bagian anggota tubuhku yang terjangkau oleh penglihatanku.

Aku berhenti berjalan saat tidak menemukan jalan keluar. Hmm… rasanya aneh deh. Bukannya tadi aku berada di sekolah ya? Eh? Sekolah?

"Ya ampuunnn… bagaimana keadaan Air, Yaya, Ochobot dan kak Adu du?" Seruku panik tanpa ada seorangpun yang mendengar. Dan suaraku agak menggema.

Aduh… gawat nih! Di mana aku sekarang?

Aku berlari. Berlari tanpa arah yang pasti. Yang jelas, aku terus berlari ke depan.

Sriiingg

"Ck, silau… apa itu?" Gumamku sembari menggunakan kedua telapak tanganku untuk menghalau cahaya mendadak itu setelah kuhentikan lariku.

Kuturunkan kedua tanganku sesaat cahaya itu perlahan memudar, dan menampakkan bentuk persegi panjang yang besar, sebesar TV layar datar.

Putih. Hanya warna putih yang terlihat dari cahaya kotak itu. Sangat kontras dengan kegelapan yang mengelilingiku. Perlahan, warna putih itu memudar digantikan dengan gambar.

"Apa maksudnya ini? Aku seperti menonton televisi yang ada diriku di dalamnya." Gumamku tanpa sadar.

Yang kukatakan memang benar. Di gambar itu, atau entah apa sebutan yang pantas, aku melihat diriku sendiri yang tengah tertidur di pangkuan Yaya. Air, kak Adu du dan Ochobot pun berada di sekililingku. Tapi, apa aku beneran tertidur?

'jangan-jangan…'

Apa aku sudah mati? Uwaaaa… serius nih? Apa ini seperti di anime-anime yang sering kutonton? Apa mungkin ini alam antara hidup dan mati? Jangan-jangan nanti akan ada malaikat pencabut nyawa di sini?

Huweee… masa sih aku mati secepat ini? Ayah, ibu, maafkan aku… aku meninggalkan kalian lebih dulu. Aku tidak bisa memasakkan keempat saudaraku di pagi-pagi berikutnya. Aku juga tidak bisa lagi melerai pertengkaran kak Taufan dan Api dengan kak Halilintar. Tolong kalian cepat kembali dan urus keempat saudaraku yang lain!

Akh… kenapa aku jadi hiperbolis begini? Yakinlah kalau kau hanya pingsan sekarang. Oke, aku, Gempa, tidak akan mati semudah itu. Aku yakin kalau saat ini aku hanya pingsan.

Ayo pikir Gempa! Pikirkan bagaimana caramu untuk sadar. Pikirkan dengan otakmu yang biasa di puji orang-orang itu jenius. Bisa gawat kalau dirimu terlalu lama berada dalam ketidaksadaran.

Kalau dalam anime yang biasa kutonton, pasti ada suara orang yang menunjukkan mereka pada jalan keluar. Tapi, di sini sama sekali tidak ada jalan keluar. Apa mungkin aku harus berlari sampai mendapatkan jalan keluar? Mungkin saja.

Padahalkan aku hanya tersayat pisau di lengan kiriku tadi. Kok langsung pingsan begitu aja? Ah~, sepertinya kepalaku terbentur saat itu. Ya, soalnya aku merasa kepalaku menghantam tanah yang lumayan keras sebelum kesadaranku hilang.

Uuhh… tidak masalah deh. Yang penting Air baik-baik saja. Tapi, pastinya jaket kak Halilintar kotor dan sobek. Ah! Bagaimana kalau sampai kak Halilintar tahu keadaanku? Ukh, dia pasti marah.

Aku kembali melihat layar TV mendadak itu. Dan… aku kembali dikejutkan dengan kedatangan kak Halilintar juga kak Taufan. Bagaimana bisa mereka menemukanku dalam kondisi seperti itu?

Ini sudah dalam tingkat yang sangat, sangat, super duper gawat! Aku harus mencari jalan keluar dari sini. Ya! Harus!

Gempa POV End



oOoOoOoOoOo



ZRAAAASSSSSHHHHH

GLUDUK GLUDUK

CTAAARRR CTAAARRRR

WUUUUOOOSSHHHH

Hujan turun semakin deras. Lebih deras dari sebelumnya. Bahkan, suara gemuruh guntur lebih memekikkan telinga diikuti suara petir yang nampak membelah langit. Angin pun tak ketinggalan melengkapi hujan– ah, atau mungkin lebih layak dikatakan badai ini. Daun-daun hijau maupun ranting pun berjatuhan saat bertabrakan dengan angin kencang. Untungnya tidak ada pohon yang rubuh. Setidaknya, belum untuk saat ini.

Kembali kita lihat halaman belakang dari gedung renang. Halaman yang luas ini hanya ditumbuhi dua pohon besar yang berada di masing-masing sisi bangunan kecil yang layak dikatakan gudang. Juga semak-semak yang berada di sekitar pohon.

Dan di teras gudang itu, terdapat empat orang muda-mudi yang menatap terkejut pada dua pemuda identik di depan mereka, yang telah basah kuyup, dengan nafas memburu.

Tidak ada suara.

Tidak ada pertanyaan yang terlontar.

Satu-satunya gadis di situ hanyalah Yaya. Setelah tadi ia membebat luka dilengan kiri pemuda yang tengah tak sadarkan diri dipangkuannya, dengan sapu tangan miliknya. Saat ini, gadis berjilbab putih yang bagian bawahnya ternodai oleh coklatnya lumpur dan bercak darah, tengah menahan tangis saat melihat orang yang paling ia harapkan datang menolong, sekaligus tidak ia inginkan melihat keadaan ini, berada di depannya. Dengan pandangan tajam di bawah topi hitam-merah menyalanya.

"Gempa!" Seru pemuda yang identik dengan pemuda yang diperhatikan Yaya, saat melihat pemuda yang kepalanya berada dalam pangkuan Yaya. Taufan. Itu adalah Taufan.

Taufan langsung melesat melewati Halilintar -yang sejak tadi membelakanginya- menuju Yaya, tepatnya menuju Gempa yang tak sadarkan diri. Ia memindahkan kepala Gempa -setelah melepas topinya- yang berada di pangkuan Yaya, ke pangkuannya.

"Gempa… Gempa! GEMPA! Bangun! Ayo bangun!" Taufan terus mengguncang-guncangkan tubuh Gempa yang mendingin. Entahlah, Taufan mengira sang adik tengah meninggal sekarang. Tapi, pemuda bertopi kesamping itu, mengenyahkan pikiran buruknya.

Taufan yakin.

Sangat yakin kalau adiknya akan bangun. Gempa saat ini hanya pingsan karena kedinginan. Ya, itu hal paling masuk akal. Adiknya satu ini memang tidak tahan dengan udara dingin. Bisa dibilang, rentan terhadap suhu rendah.

Taufan mengarahkan jari telunjuknya yang bergetar ke depan hidung sang adik, guna memastikan bahwa adiknya itu masih berada di sini. Di sisinya. Dan benar saja. Senyuman Taufan mengembang. Ia bersyukur sang adik masih bernafas. Dia bersyukur. Sangat bersyukur.

"Rumah sakit… ya, rumah sakit. Kak Hali, kita harus ke rumah sakit sekarang. Gempa masih hidup! Dia masih bisa selamat." Gumam Taufan awalnya dan langsung berseru riang, dengan tingkah layaknya orang linglung yang hanya menoleh ke kanan dan kiri. Tampaknya ia tidak memperdulikan (baca : mengetahui) keberadaan sang kembar bungsu juga tiga orang lainnya.

Air yang sejak tadi melihat keadaan sang kakak kedua yang sangat miris, menghampiri pemuda yang identik dengannya itu. Air menepuk pundak Taufan. Taufan pun menoleh pada Air dengan pandangannya yang tidak fokus. Taufan yang menyadari bahwa itu adalah Air, langsung tersenyum lebih lebar.

"Air! Kau dengar katakukan? Gempa… nafas. Ya! Dia masih hidup! Sudah kuduga, mana mungkin luka itu membuatnya mati. HA! Pasti dia kedinginan. Cih, jaketnya kak Hali gak berguna. Lihat! Gempa pingsan. Ayo Air! Kita ke rumah sakit!" Racau Taufan panjang lebar dengan riangnya juga sesekali mendumel.

Air tersenyum miris melihatnya. Kalau kakaknya bertingkah seperti ini… pasti orang-orang akan mengatakan kalau sang kakak kedua mengalami gangguan psikis. Terakhir kali, ini terjadi setahun lalu.

Kejadian setahun lalu itu…

Membuat sang kakak kedua hanya mengumbar senyum palsu dan bertingkah diluar kebiasaannya selama sebulan.

Membuat sang kakak keempat sering menangis sendiri di kamarnya dan berekspresi layaknya Halilintar di sekolah selama sebulan.

Membuat sang kakak pertama jarang menginjakkan kaki dan semakin dingin rumah selama sebulan.
Membuat Orang tuanya meninggalkan pekerjaan mereka selama sebulan.

Dan membuatnya berlagak layaknya sang kakak ketiga -meskipun tidak berhasil- dan menenangkan sang kakak kedua jika tingkahnya sudah diluar batas selama sebulan.

"Iya kak. Air tau kak Gempa masih hidup. Maafkan Air. Ini semua salah Air. Jika tadi Air tau kalau ada pisau yang mengarah pada Air, mungkin kak Gempa tidak akan tersayat. Dan saat kak Gempa dan Air jatuh, Air mendengar suara benturan. Mungkin kak Gempa pingsan karena benturan tadi." Jelas Air lirih di samping Taufan sambil menunduk dalam. Dan anehnya, semua orang yang berada di situ, mendengar jelas suara Air, meskipun suara hujan mendominasi.

Taufan terdiam. Dia melihat Air yang menunduk, membuat poni rambutnya menutupi ekspresi di wajahnya. Taufan pun menyadari kalau kelakuannya tadi, membuat sang adik merasa bersalah dan khawatir. 'Bodohnya aku.' Dumel Taufan dalam hati.

"Aku tau. Tenang saja, aku masih bisa bersikap waras kok, Air. Tadi aku hanya panik. Hehehe… maaf ya, membuatmu khawatir." Perkataan Taufan yang lebih tenang dan terkontrol itu membuat Air langsung mendongakkan kepalanya. Iris coklat Air berkaca-kaca melihat senyuman lembut sang kakak kedua yang sangat mirip dengan Gempa. Tapi, Air merasa hatinya teriris melihat aliran anak sungai yang mengalir dari kelenjar air mata sang kakak.

Yaya yang melihat kejadian menyedihkan di depannya ini, tak sanggup lagi membendung tangisnya. Ketua klub Tae Kwon Do yang terkenal kuat, cantik, baik, manis, dan garang sekaligus, menangis saat ini. Menangisi ketidakmampuannya untuk menenangkan sahabat-sahabatnya sejak kecil, yang tengah dilanda masalah. Masalah yang sangat besar. Masalah yang tidak seharusnya siswa-sisiwi SMP seperti mereka dapatkan. Masalah yang ia sendiri tidak tahu seperti apa awal mulanya. Dan masalah ini, mengancam nyawa kelima kembar Boboiboy, menurutnya.

Halilintar yang melihat interaksi kedua adiknya, juga Yaya yang menangis dalam diam, semakin menunduk dalam. Kembar tertua itu menggigit bibir bawahnya hingga darah mengalir pelan menuju dagunya dan menetes ke tanah yang ia pijak. Halilintar merasa, ia gagal untuk kedua kalinya dalam hal mengawasi dan menjaga adik-adiknya.

Ia sebenarnya bingung bagaimana bisa kedua adiknya, sahabat kecilnya, kakak kelasnya, dan pemuda yang sekelas dengan Gempa ini, terdampar di bangunan kecil -yang ia yakini gudang tua- yang sudah berlumut, cat yang mengelupas, dan banyaknya sulur-sulur tanaman yang merambat di tiang yang menyanggah atap seng sepanjang dua meter, guna sebagai pelindung di teras kecil bangunan itu.

Banyak pikiran yang terlintas di benak Halilintar.

Apa mungkin si Ejojo dan kedua pemuda -mungkin anak buahnya- itu, mengurung Air di dalam ruangan ini? Kalau Gempa tidak mungkin. Sebab, Gempa dan Yaya saja mencari Air. Lalu, bagaimana bisa kakak kelasnya dan teman kelas Gempa berada di sini juga? Apa mungkin mereka membantu Gempa dan Yaya mencari Air? Atau ada kemungkinan yang lain?

Tidak ingin memikirkan hal itu untuk sementara, Halilintar menolehkan kepalanya menatap pisau yang terdapat noda darah bercampur lumpur. Pisau itu nampak tidak asing dalam ingatannya. Tapi, ia lupa pernah melihat pisau itu di mana. Halilintar berjalan menuju pisau yang tergeletak pasrah itu. Ia melihat dengan keseluruhan tanpa menggunakan tangannya.

Pisau itu tampak seperti pisau biasa. Tapi, jika dilihat lebih teliti ganggang pisau yang berwarna hitam itu, sepertinya telah di desain sesuai kenyamanan orang yang memegangnya. Itu berarti, pisau itu dibuat khusus dan harganya tidak sembarangan. Bagian mata pisaunya pun sangat tajam. Sangat terpelihara dan mungkin, telah banyak melukai orang.

'Tunggu! Apa itu?' Batin Halilintar yang meneliti ganggang pisau lebih jeli dengan iris coklatnya yang tajam. Nampaknya ada sebuah logo kecil di bagian ganggang.

T.S

Itu logo yang tertulis. Sebenarnya, tidak bisa dikatakan logo. Lebih tepat, inisial. Ya, sebuah inisial nama yang membuat Halilintar akhirnya mengingat di mana ia melihat pisau ini. Pisau yang hampir melayangkan nyawa sang adik kedua -Gempa-. Pisau yang di miliki oleh orang yang gila akan perempuan itu.

Pisau yang dimiliki oleh Tom Scammer.

Ochobot dan Adu du yang juga menonton kejadian di depan mereka hanya terdiam. Enggan mengintrupsi ataupun membantu untuk menenangkan. Mereka berdua merasa, pasti ada suatu hal yang dapat mereka lakukan tanpa menganggu keempat orang di depan mereka ini.
Ochobot dan Adu du yang merasa ditatap seseorang pun mendongakkan kepalanya kearah tatapan itu berada. Dan benar saja, Halilintar saat ini tengah menatap mereka intens. Mereka bertiga pun saling menatap. Layaknya menggunakan telepati melalui tatapan, mereka menengokkan kepala menuju semak-semak yang berada di dekat pohon besar, di samping gudang itu. Mereka bertiga saling menatap kembali, dan mengangguk bersamaan. Hendak menjalankan rencana yang mereka susun melalui tatapan tadi.



oOoOoOoOoOo



Sudah 3 menit berlalu semenjak Halilintar dan Taufan menerobos hujan. Tidak ada pergerakan berarti yang dilakukan enam pemuda ini. Mereka masih berkutat dengan pikiran masing-masing. Enggan mengganggu suara hujan yang masih mendominasi dipendengaran mereka.

Api masih menundukkan kepalanya. Tidak ada niatan sedikit pun untuk mengejar sang kakak pertama dan kedua. Pikirannya masih agak kacau dengan semua hal yang terjadi. Begitu juga dengan segala hal yang ia pikirkan mengenai keterlibatan Ejojo dalam insiden yang menimpa Gempa.

Ejojo, Petai, dan Bago go masih menatap salah satu dari kelima kembaran Boboiboy yang menunduk dengan pandangan mengejek. Fang menatap Api sedih. Pemuda bersurai Dark Purple itu, merasa tidak pantas menyandang gelar sahabat si kembar sejak kecil. Sebab, ia sendiri bingung bagaimana menghilangkan kesedihan yang di rasakan Api.

Sedangkan Probe, pemuda yang berstatus Mantan Ketua OSIS ini, masih memutar otak jeniusnya. Ia yang sudah mendapatkan kunci atas semua yang terjadi seharian ini, mencoba mencari lagi sebuah atau beberapa analisis yang masuk akal untuk di jelaskan mengenai pembalasan dendam Probe dan siapa saja yang terlibat.

Probe POV

Aku sedari tadi masih memikirkan mengenai hal yang sekarang kuanggap kasus ini. kasus balas dendam Ejojo.

Petai dan Bago go juga terlibat dalam kasus ini. Apa mungkin mereka juga terlibat bersama Ejojo dalam kejadian setahun lalu? Kalau ikut terlibat, kenapa tidak dikeluarkan juga seperti Ejojo? Apa mungkin Ejojo sudah memberitahu pihak sekolah tapi tidak ada bukti bahwa mereka berdua terlibat?
Atau mungkin…

… Ejojo sengaja membiarkan mereka lolos agar mudah membalas dendam. Dan inilah waktu yang tepat untuk itu.

Ya! Aku yakin itu. Setahun aku sekelas dengannya, juga dia yang jadi wakilku di OSIS. Meski tidak akrab dan dia sangat membenciku dikarenakan dia cemburu dengan jabatan Ketua OSIS yang kupegang, aku sangat mengetahui karakternya.

Seseorang yang haus akan kekuasaan.

Seseorang yang tidak terima jika orang lain mempunyai sesuatu yang tidak dimilikinya.

Seseorang yang sangat benci dengan orang yang suka ikut campur dengan urusannya, tanpa izinnya.
Seseorang yang dengan mudah membuat orang lain bertekuk lutut di hadapannya.

Juga…

…seseorang yang tidak akan membebaskan mangsa yang telah diincarnya.

Aku mengetahui itu semua, bukan berdasarkan sudut pandangku saja. Semua hal yang kusebutkan di atas, ku simpulkan dari semua pengamatanku akan perilaku Ejojo terhadap siswa-siswi di SMP Pulau Rintis.

Dan aku pun dapat menyimpulkan seperti itu, karena aku juga salah satu orang yang tidak disukai bahkan dibenci oleh Ejojo. Sudah kusebutkan bukan, Ejojo cemburu akan jabatanku, dan aku hampir menjadi korbannya jika saja saat itu tidak ada 'mereka' yang menghalangi niatan Ejojo.

Kalian tidak salah baca. Awalnya, Ejojo hanya berniat untuk memberiku pelajaran. Itu kuketahui dari caranya menarikku paksa, dengan anak buahnya yang mengikuti. Dan mereka membawaku ke taman belakang sekolah yang sepi. Untung saja mereka berlima lewat dan menggagalkan niatan Ejojo itu.

"Jadi… kau pelakunya."

Aku tersentak dari ingatanku yang melayang ke masa lalu, saat mendengar desisan yang sangat dingin nan tajam.

Kualihkan langsung pandanganku kearah desisan itu berasal. Kulihat tubuh Api bergetar. Apakah amarahnya meluap?

"Grrhh…"

DRAP DRAP DRAP

TAP

DUAKH

"ARRGGHHHH!"

"BOS!"

Oke! Amarahnya benar-benar meluap. Aku sampai terperangah melihat bagaimana Api langsung lari dengan cepatnya, lalu menendang Ejojo tepat di ulu hati sampai terlempar hingga 3 meter kebelakang. Petai dan Bago go sontak teriak dan menghampiri Ejojo. Aku melihat Fang yang melotot horror.

Probe POV End

"Hahh… hah… hah…" Api menghirup rakus oksigen di sekitarnya. Amarahnya benar-benar tak terbendung sekarang. Kilatan iris coklatnya sangat tajam. Topi jingga-kuningnya yang menghadap ke atas, sekarang turun layaknya style Halilintar.

Fang masih membeku dengan iris yang melotot horror di balik kacamata berframe nilanya itu. Sedangkan Probe, berjalan mendekati Fang dan menepuk pundaknya.
"Hentikan tatapan horrormu itu! Fokuslah sekarang. Nampaknya mereka akan membalas." Ujar Probe yang terus memperhatikan pergerakan ketiga pemuda yang jauh di depannya.

"BRENGSEK! DASAR BOCAH!" Bentak Ejojo setelah mengusap kasar darah yang mengalir dikedua sudut bibirnya dengan lengan kemeja putihnya. Iris emasnya menatap nyalang iris coklat Api yang juga menatapnya tajam.

Entah mengapa, seringaian tercipta dengan lebarnya dibibir Ejojo. Petai dan Bago go reflek mundur tiga langkah saat merasakan aura yang dikeluarkan Ejojo. Kedua bawahan Ejojo itu berkeringat dingin. Rasanya mereka ingin kabur dari sini secepatnya. Namun, pandangan Petai dan Ejojo teralihkan kepada sesuatu yang berada di balik tembok di belakang Probe dan Fang. Seketika, mereka berdua pun tahu alasan sang Bos mengeluarkan aura membunuhnya.

Api yang melihat seringaian Ejojo diikuti oleh kedua anak buahnya makin menggeram. Sang kembar keempat itu merasa dipermainkan. Sedangkan, Probe dan Fang yang melihat seringaian Ejojo juga kedua bawahannya, merasakan firasat buruk.

"A–"

BRUGH

"Argh…"

Belum sempat Fang mengucapkan satu kata, suara debaman disertai pekikan kesakitan dari orang yang jatuh, menyapa indra pendengarannya. Fang dan yang lainnya pun menoleh ke tepi gedung yang lantainya terlapisi semen dan masih terlindungi oleh atap. Seketika itu pun mereka membelak melihat siapa yang mendorong pemuda yang meringis kesakitan.

"Kak Taufan…" Lirih Api dan tercekat diakhir saat melihat raut wajah Taufan yang kosong. Api mengikuti tatapan kosong Taufan yang mengarah pada orang yang masih bersimpuh di tanah yang bersemen.

Fang dan Probe membeku melihat tatapan Taufan. Tatapan Taufan saat ini tak ubahnya dengan tatapan seorang pembunuh berdarah dingin.

DUAKH

"ARRGGGHH…"

DUAKH

DUAKH

Tendang. Tendang. Dan selalu tendangan yang dirasakan pemuda bersurai hitam legam dengan poni kesamping itu. Ingin sekali pemuda itu membalas namun, ia tak diberi kesempatan barang sedetik saja.

Ejojo, Petai, dan Bago go merasa disiram air dingin dengan mata membelak saat melihat perlakuan sadis yang Taufan perlihatkan. Seringaian mereka lenyap tak berbekas saat melihat salah satu bagian -bawahan untuk Ejojo- dari mereka, terdorong ke tanah bersemen dengan kerasnya dan di tendang oleh salah satu dari orang yang menjadi mangsa mereka.

PCAK PCAK PCAK

PCAK PCAK PCAK

"KAK TAUFAN!"

"TAUFAN!"

Seruan yang mencoba untuk menyaingi hujan pun terdengar semakin dekat dengan bunyi kecipak tanah yang basah -becek-. Api yang mendengar suara yang amat familiar, tanpa sadar mengeluarkan liquid bening dari sudut matanya. Ia merasa luapan amarahnya untuk Ejojo dan ketakutannya akan ekspresi Taufan lenyap seketika. Setelah orang yang sangat-sangat ia kenal itu muncul, reflek Api berlari dan memeluk sang adik.

"Ka-kak Api…"

"Bodoh! BODOH! KENAPA GAK PULANG-PULANG, HAH!? Ka-kau tahu… Kak Halilin… hiks… kak Halilin sampai marah besar… Kak Tau… iks… fan jug-juga.." raung Api dengan sedikit terisak. Ia merasa lega. Sang adik ternyata baik-baik saja, err… mungkin sedikit tidak baik. Karna Air basah kuyub.

"Maafkan Air, kak. Tapi… ada yang le–"

TAP TAP TAP TAP

SREETTT

WUUSSSHH

TAP

Kalimat Air terputus saat iris coklatnya melihat seseorang yang muncul dari balik tembok besar di belakang Fang dan Probe. Pemuda itu berlari dengan cepat dan langsung menodongkan pisau lipat kearah Taufan. Namun, Taufan yang menyadari pergerakan itu langsung menghindar yang menyebabkan sobekan di lengan baju putihnya, lalu berhenti tepat di depan Api dan Air.

"WOY! BERANINYA MAIN BELAKANG!" seruan Ochobot yang tadi sampai bersama Air terdengar dengan jelas.

"Hosh.. hosh… Ka-kalian… cepat banget… hosh… ck, pakaianku basah… semua.."

"ADU DU!"

Pekik Probe kegirangan saat melihat sang sahabat baik-baik saja. 'Baik-baik saja' dalam artian tidak ada yang terluka. Langsung saja Probe memeluk tubuh Adu du yang basah kuyub itu.

"WOOIII… Lepaskan, Probe!" Adu du terus mendorong wajah Probe yang menempel di dadanya bahkan sampai menendang perut Probe hingga terdorong ke belakang.

"Ukh… kau kejam, Adu du. Aku sudah khawatir banget tau. Sampai mencarimu ke sana-kemari. Terus…" Probe pun berceloteh panjang lebar dihadapan Adu du yang hanya bisa cengo melihat kelaukan sang sahabat di situasi genting ini.

Fang yang melihat Air baik-baik saja pun bernafas lega. Setidaknya, salah satu orang yang dicari ketemu. Tapi…

'Kemana Gempa dan Yaya?' batin Fang yang mendadak dilanda kekhawatiran.

"Uhuk uhuk… cih! Tendanganmu lumayan juga ya."

Pemuda yang ditendang Taufan pun berdiri dibantu dengan pemuda yang hampir menusuk Taufan dengan pisau. Ejojo, Petai, dan Bago go pun mendekati kedua pemuda di depan.

"Heh! Gimana? Sukses?" Tanya Ejojo yang berdiri di depan kedua pemuda itu sambil menatap Taufan, Api, Air, Fang, Probe, Adu du dan Ochobot yang berkumpul.

"Tentu saja! Dia malah pingsan sekarang. Atau mungkin sudah mati." Jawab pemuda yang ditendang Taufan dengan seringaian. Taufan yang melihat seringaian itu hendak menerjang pemuda yang tadi ditendangnya hingga puas, andai tidak dihalangi Air yang langsung menahan tangannya.

"Terus? Bagaimana bisa kau ketahuan, Tom?" Tanya Petai sarkas.

"Aish… aku di jebak sama Adu du, si pirang, dan si temperamental."

"Hahahahaha… kau dijebak? Sungguh! Ini permainan yang sangan menarik. Lalu, di mana si merah, Ketua OSIS, dan gadis itu?" Bago go berucap dengan riangnya. Dia tampak sangat menikmati semua hal yang ia anggap 'permainan' ini, kecuali saat melihat wajah Taufan.

"Entah. Setelah aku tertangkap sama Adu du, pirang, dan si tempramen itu, aku langsung diseret ke sini sama si biru pembuat onar. Dan kau juga, Jambul! Kenapa tidak menolongku lebih cepat? Tendangannya itu menyakitkan. Sungguh!" Tom menggerutu sambil sesekali berdecak dan juga menunjuk-nunjuk pemuda yang hampir menusuk Taufan, Jambul. Koko Jambul. (saya sebut Jambul saja ya).

"Aku ingin melihat adegan penyiksaan saja." Jawab Jambul datar. "Sedari tadi aku hanya melihat melodrama di gudang itu." imbuhnya sambil menatap sekumpulan pemuda di depannya yang menunjukkan raut wajah yang berbeda-beda saat melihat Halilintar yang menggendong Gempa dan Yaya yang memegang payung menghampiri sekumpulan pemuda di depannya.

"Bagus! Ini sangat sempurna! Kelima kembar Boboiboy–"

"Empat, Bos!"

"Grrhh.. aku tau!" Geram Ejojo kesal. "Keempat kembar Boboiboy dan lima orang tambahan. Menarik!"

"Ha! Benar kan kataku, Bos? Lima pemain tambahan itu akan menarik. Apalagi jika dua diantaranya sahabat dekat mangsa kita." Bago go berseru siang. Namun, seruannya hanya di dengar oleh keempat orang yang ia anggap teman ini. Teman seklompotan.

TAP

TAP

TAP

Suara tapakan kaki yang pelan juga nampak berat melangkah kearah Ejojo dan anak buahnya. Entah bagaimana bisa tapakan kaki itu menggema di koridor belakang gedung renang dan mengalahkan suara guyuran hujan.

Petai dan Bago go langsung berdiri di depan Ejojo layaknya pengawal yang melindungi sang raja dari musuh. Tom dan Jambul berdiri di samping kanan-kiri Ejojo. Ejojo hanya berdiri saja. melihat orang yang berjalan di depannya dengan aura yang menyesakkan. Ejojo sebenarnya agak merinding melihat tatapan tajam di balik topi bewarna merah-hitam itu, tapi ego-nya mengalahkan ketakutannya.

TAP

Tapakan kaki itu berhenti tepat sepuluh kaki dari Ejojo dan anak buahnya. Aura yang dikeluarkan sang pemilik kaki menguar dengan liarnya. Membuat siapa pun yang berada dalam radius 5 meter merasakan udara yang semakin menipis hingga sulit bernafas. Bahkan Ejojo, Petai, Bago go, Tom, dan Jambul yang berhadapan dengan sang penyebar aura pun sampai meneguk ludahnya.

'Ini bahkan lebih parah dan lebih mengerikan dari tatapan The Smiler Boy itu.' Batin Bago go panik.

"Kalian berlima…" Halilintar berucap dengan datar nan dingin sambil menatap kelima orang di di depannya.

GLUDUK GLUDUK

"…akan menerima suatu hal yang lebih parah dari yang Taufan lakukan."

JDEEEERRR



oOoOoOoOoOo



Gempa POV

Aku lelah.

Lelah mencari jalan keluar dari tempat yang kuperkirakan ambang kematian ini. Yah… meskipun aku yakin ini bukan tempat seperti itu.

Aku sudah lari ke sana ke sini tapi, tidak menemukan suatu jalan. Ya Allah… apakah aku harus terjebak di sini.

Aku yang kelelahan pun terduduk. Aku hanya menatap seluruh tempat yang bewarna Hitam ini. Tapi, jika kuperhatikan warna hitamnya tidak seperti pertama kali aku membuka mata. Warna hitamnya agak memudar.

Apakah mungkin jalan keluar semakin dekat?

Tapi aku sudah lelah. Sedari tadi aku berlari meninggalkan layar layaknya TV itu, jadi aku ingin istirahat dulu sejenak.

Sriiingg

'Aish.. silau. Apa lagi ini?' batinku yang reflek menghalangi cahaya yang menyilaukan itu dengan tangan kananku.

Setelah aku merasa cahayanya redup, aku menurunkan tangan kananku. Aku kembali dikejutkan dengan bentuk persegi panjang layaknya layar TV yang sebelumnya kulihat. Namun, kali ini ada dua. Dan menampilkan gambar yang berbeda.


Di layar pertama, aku melihat kak Halilintar menggendongku dengan Yaya yang memayungi kami. Aduhh… kak Halilintar, maafkan Gempa yang merepotkan. Terus, aku juga melihat kak Taufan, Air, Ochobot, dan kak Adu du. Bahkan, Fang dan kak Probe pun ada di situ juga.

'Apa yang mereka lakukan di sana?'

Aku pun berpikir, mungkin Fang diajak (baca : dipaksa) sama kak Halilintar atau kak Taufan. Sedangkan kak Probe… mungkin dia mencari kak Adu du. Aku pun memperhatikan kembali yang terjadi dalam layar pertama. Kak Halilintar menyerahkanku pada Api dan Fang. Lalu, kak Halilintar berjalan menuju lima pemuda lainnya.

'Siapa mereka?'

Aku penasaran. Sungguh sangat penasara. Aku mendekatkan diriku ke layar dan melihat wajah kelima pemuda itu.

"Bu-bukankah dia kak Ejojo dan teman-temannya!" pekikku kencang hingga menyebabkan sedikit gemaan di tempatku berdiri saat ini.

Apa yang mereka lakukan di sana? Aduh… kenapa di saat seperti ini, aku harus kehilangan kesadaran. Aish… sudah berapa kali aku mengeluhkan hal ini? Aku pun tak tahu.

Karna aku terlalu fokus dengan layar pertama, aku pun lupa kalau ada layar lainnya tepat dua meter dari layar pertama.

Aku melihat gambar yang agak familiar. Bukankah itu SMP Pulau Rintis? Kenapa di situ sangat cerah? Dan… bukankah itu aku dan saudara-saudaraku?

Eh!?

Tu-tunggu! Bu-bukankah itu aku dan saudara-saudara ku saat masih kelas satu?

Apa mungkin…



… ini kejadian setahun lalu?
.
.
.
Bersambung...?

Karangan : NaYu
Facebook : https://www.facebook.com/nabilah.sgm

Terimakasih.




0 comments:

Post a Comment

Fanfic : BoBoiBoy