Fanfic : BoBoiBoy

Chapter 2 : Trap

Bila kau terbangun di tempat yang asing, pasti kau akan berteriak panik atau mungkin akan meringkuk sambil mengucapkan doa berkali-kali, bahkan kau pasti akan mencari jalan keluar sambil menggedo-gedor pintu yang terkunci dan berkata, 'Keluarkan aku dari sini!'.

Tapi, jika orang itu adalah Air, maka hal yang di sebutkan di atas tidak akan berlaku. Yap! Sekarang Air sedang berada di tempat yang tidak ia kenali. Pertama kali membuka mata dari ketidaksadarannya, tengkuknya terasa sakit. Tampaknya ada orang yang memukul tengkuknya hingga pingsan. Dan setelah berhasil memfokuskan pandangannya, ia melihat Ochobot tengah pingsan di sampingnya.

Air merasa bingung. Bagaimana ia dan Ochobot sampai di tempat ini? Ah! Salah. Akan lebih tepat dikatakan, siapa yang membuat ia dan Ochobot pingsan dan di kurung dalam ruangan yang seperti gudang ini? Hmm… itu pertanyaan yang cocok.

Sudah sekitar 5 menit semenjak Air sadar. Dan pemuda yang hanya menggunakan kemeja putih dan celana biru panjang itu, telah menjelajahi ruangan asing ini.

Pintu terkunci.

Tidak ada jendela.

Fentilasi udara hanya satu dan tidak mungkin dijadikan tempat keluar. Di dalam ruangan itu, hanya ada kardus-kardus yang berisi kacamata renang rusak dan hewan-hewan seperti, kecoa, tikus, lalat, dan nyamuk. Apa ia berada di gudang klub renang?

Ia kembali mengingat-ngingat apa yang dilakukannya sebelum berakhir di tempat ini dengan Ochobot yang tak sadarkan.

Flashback

"Latihan hari ini selesai. Kalian sudah bisa pulang. Ingat! Pertandingan renang tidak lama lagi. Kita harus latihan terus supaya dapat mengalahkan SMP lainnya. Paham!"

"Paham!"

"Kalau begitu cepat ganti baju kalian, terus pulang ke rumah masing-masing."

Setelah Adu du selesai berucap, semua siswa-siswi yang mengikuti klub renang bergegas ke ruang ganti lalu bisa pulang ke rumah mereka yang hangat. Begitu pula Air dan Ochobot. Dan saat ini, mereka hanya berdua saja di ruang ganti. Kenapa bisa? Itu karena, para siswa lainnya bergegas memakai pakaian mereka dan langsung keluar dari ruang ganti, menuju rumah masing-masing.

TRILILIT TRILILIT

Suara ponsel yang berdering membuat Air yang sedang mengancing kemeja putihnya berhenti. Ia melirik ke Ochobot yang sedang memasang sepatunya. Lalu, ia mengambil ponselnya yang terdapat sebuah pesan dari sang kakak, Gempa.

[From : Kak Gempa
Kakak sudah selesai rapat. Air di mana? Aku dan Yaya samperin.]

Air hanya menatap pesan yang di kirim oleh Gempa. Sedari tadi, ia mencoba untuk membalas tapi, tidak bisa. Setelah mengetik pesan, pesan itu akan gagal. Dan Air terbiasa menghapus pesan yang gagal. Dan akhirnya, Air tahu sesuatu.

"Siapa Air? Gempa kah?" Tanya Ochobot sambil merapikan barang-barangnya di dalam tas.

"Iya."

"Terus? Kenapa tidak dibalas?" Tanya Ochobot yang sekarang tengah melihat ponsel Air yang belum ada balasan dari Air untuk Gempa.

"Pulsaku habis." Lirih Air sambil menatap sendu ponselnya.

"Aish, aku juga sama. Pulsa habis. Batrei pun habis." Ochobot memperlihatkan ponselnya yang mati total. "Sudahlah, lebih baik cepat kau pakai jaket dan topimu itu. Kasian Gempa kalau menunggu." Imbuh Ochobot setelah menaruh ponselnya dalam tas.

"I– AKH!"

Belum sempat Air membalas ucapan Ochobot, tengkuknya telah di pukul oleh seseorang. Air merasakan berat di kepalanya. Air pun terjatuh di lantai yang dingin. Ia tak tahu siapa yang memukul. Ia melihat Ochobot meneriaki sesuatu yang tak dapat di dengarnya. Pandangannya pun mulai mengabur, namun ia mencoba untuk memfokuskannya. Air juga melihat Ochobot beradu pukulan dengan pemuda yang ia rasa telah memukulnya tadi. Namun tidak ada satupun serangan pemuda asing itu yang mengenai Ochobot.

Air tidak dapat melihat wajah pemuda itu atau pun rambutnya. Karena, pemuda yang masih beradu pukulan dengan Ochobot, memakai penutup kepala hijau gelap.

BRUAAAKK

Ochobot terdorong ke loker dan tiba-tiba terjatuh jauh di depannya. Nampaknya pemuda pirang itu mendapatkan benturan yang cukup keras. Terakhir yang Air lihat sebelum gelap menguasai, sepatu sneakers bewarna hijau lumut di hadapannya.

Flashback End

"Kak Gempa sudah pulang belum ya?" Tanya Air menggumam sambil melihat fentilasi udara yang berembun. Ruangan ini nyaris -atau memang- kedap suara. Air tidak dapat mendengar jelas suara di luar ruangan ini namun, nampaknya sudah hujan di luar sana. Dan ia terjebak di dalam ruangan yang ia tak ketahui. Bagaimana jika Gempa sampai nekat mencarinya? Apa yang akan Halilintar lakukan padanya jika ia telat pulang?

Jujur saja, meskipun sedari tadi ia tenang layaknya air sungai yang tak berpenghuni, Air memikirkan segala kemungkinan yang terjadi. Dan sepatu sneakers itu. Itu milik siapa? Air tidak begitu mengingatnya.

"Ukh…"

Air langsung menghampiri Ochobot setelah mendengar lenguhan kecil dari pemuda pirang itu.
"A…Air?" Ochobot mengerjapkan matanya. Pandangannya masih kabur. Tapi meskipun begitu, ia yakin yang di hadapannya adalah Air.

"Ya." Ucap Air datar. Nampak tenang sekali wajahnya. Padahal dia juga mengkhawatirkan keadaan si pemuda pirang ini.

"Ki-kita di…mana?" Tanya Ochobot sambil mengedarkan iris shappirenya ke segala penjuru ruangan. Ia mengernyit heran tatkala melihat berbagai hewan yang biasanya berada di gudang.

"Kita di gudang?" Tanyanya lagi dan hanya dibalas bahu Air yang di naikkan pertanda tidak tahu.

"Auw…" Ochobot meringis saat mencoba untuk mendudukkan dirinya. Kepalanya terasa sakit sekali. Tangan kanannya mencoba untuk menyentuh bagian belakang kepalanya yang mungkin agak membengkak.

"Kau tidak apa-apa?" Tanya Air datar.

Sumpah, jika saat itu Ochobot tidak kesakitan, ia pasti telah memukul wajah innocent Air itu. Bagaimana bisa pemuda di depannya ini terlihat tidak cemas sama sekali? Isi pikiran Air pun, Ochobot tidak tahu.

Pemuda pirang itu kembali mengedarkan pandangannya, setelah dapat duduk sambil menyandar pada tembok. Ia dapat melihat fentilasi udara yang tampak berembun namun tak terdengar suara hujan sama sekali.

"Apa di luar sana sudah hujan?"

"Mungkin."

"Aish… Hentikan jawaban ringkasmu itu. Aku seperti melihat si kembar temperament-mu. Dan jam berapa sekarang?" Ochobot merasa Air terlalu tenang meskipun ia juga terkadang melihat ekspresi malu-malu dari si kembar bungsu ini. Air tidak menjawab pertanyaan Ochobot. Ia hanya melihat pergelangan tangan Ochobot dan Ochobot menyadari itu.

"Oh man… bagaimana bisa aku lupa kalau sedang pakai jam?" Keluhnya kesal. Ia nampak seperti orang bodoh di depan Air.

"APA!? SUDAH HAMPIR JAM 5!"

Air hanya menutup kedua telinganya tepat sedetik sebelum Ochobot berteriak. Em… Air memang sudah memperkirakan kalau Ochobot akan berteriak setelah melihat jam yang menunjukkan sore hari itu.

"Berarti, sudah sejam lebih dong kita di sini?" tanya Ochobot lagi dan hanya dibalas anggukan dari Air.

"Sialan! Bagaimana bisa kita sampai di sini?"

"Kau pasti tahu jawabannya."

Hening.

Ochobot menatap Air dengan mata yang sedikit melebar. Sedangkan Air, menatap Ochobot dengan bingung. Ochobot terlihat seperti orang yang baru saja mengingat sesuatu yang penting. Itu yang Air rasakan.

"Kita dikurung oleh si hijau itu!" Desis Ochobot yang menatap pintu tajam. Seakan-akan, pintu itu adalah orang yang membuatnya terjebak di dalam ruangan layaknya gudang bersama Air.

Air melihat ekspresi Ochobot yang mengeras. Dan Air juga mendengar desisan pemuda pirang itu. 'Hijau? Siapa si hijau? Apa orang dengan ciri-ciri hijau yang mengurungku dan Ochobot di sini?' Batin Air, mulai menganalisis setiap kejadian yang ia alami.

Pemuda dengan penutup kepala berwarna hijau gelap.

Sneakers hijau lumut.

Si hijau.

'Jangan-jangan…'

BRAK BRAK BRAK

"AIIRRR… KAU DI DALAM!"

"AIR! OCHOBOT!"

Air dan Ochobot yang mendengar suara-suara familiar itu saling menatap. Mereka saling mencoba untuk melakukan telepati yang entah berhasil atau tidak. Pemuda bersurai Hitam dan pirang itu menatap pintu di hadapan mereka yang tergedor-gedor dengan kerasnya.

Mereka diam.

Tidak bicara sepatah kata pun.

"Kak Adu du yakin mereka ada di dalam?"

Samar-samar, Air mendengar suara Yaya. Sedangkan Ochobot, tidak terlalu mengenal Yaya jadi, dia hanya menatap bingung pintu yang berhenti terdobrak.

"Aku yakin, Yaya. Tadi aku melihat ada orang yang membawa Ochobot dan Air ke sini. Entah siapa yang membawa mereka. Aku tidak melihat wajahnya."

Ochobot langsung menggeram marah dan akan berdiri lalu menerjang pintu, jika tangannya tidak di tahan oleh Air. Ochobot melihat Air menggelengkan kepala dan berucap 'Tunggu dan sabarlah' tanpa suara. Ochobot kembali duduk dengan nafas yang memburu. Pemuda pirang itu merasa sebal. Ia merasa Air pun telah mengetahui siapa penyebab mereka berada di sini.

Pemuda pirang itu tahu, tidak perlu banyak kata kunci yang harus ia ucapkan. Sebab, dengan hanya satu kata kunci, si kembar bungsu itu dapat menganalisis hingga mendapatkan jawabannya sendiri. Dan itu biasanya sangat akurat.

"Ayo kita coba dobrak lagi pintu ini! Aku takut mereka berdua kenapa-napa."

Suara yang terdengar samar berikutnya, membuat Air yakin akan suara dari teriakan pertama yang ia dengar. Kenapa kakaknya itu belum pulang?

'Aduh! Kalau begini gawat! Kak Halilintar pasti akan menghukumku.' Batin Air miris. Ini benar-benar gawat. Di luar sana hujan dan kakak ketiganya berada di balik pintu itu bersama Yaya dan… Adu du?

"Biar aku yang mencoba untuk mendobraknya, kalian mundur dulu!"

Mendengar kalimat itu, sontak saja Air dan Ochobot menyingkir agak jauh dari pintu. Bukannya takut ketahuan menguping. Tapi, akan lebih baik jika mereka menjauh dan menyususn rencana darurat.

BRUUAAKKK

Pintu di dobrak kembali. Air menatap Ochobot dan membisikkan rencana darurat yang muncul di otaknya.

BRUUAAKKK

Pintu kembali di dobrak.

BRUUAAKKK

"Aku bantu, kak Adu du."

"Oke. Kalau begini, akan lebih cepat terbuka."

BRUUAAKKK DAK

Kali ini, suara dobrakan sekaligus suara bukaan kunci pintu terdengar ke seluruh penjuru ruangan yang kedap suara ini. Selang sedetik setelah bunyi bukaan pintu, dobrakan terdengar dan pintu langsung terbanting dengan kerasnya.

ZRAAASSHHH

Suara hujan yang amat sangat deras, terdengar di telinga Air juga Ochobot.

Gempa melihat seluruh ruangan yang nampak gelap dan…

…Kosong?

"Di mana Air?" Lirih Gempa saat masuk ke dalam ruangan yang kosong ini dengan pandangan terus ke depan.

"AIR!"

DUAKH

BRUGH

PLASHH

"AKKHH!"

Gempa langsung menoleh ke belakang saat mendengar Yaya meneriakkan nama Air, suara pukulan, orang jatuh, juga jeritan Adu du membuatnya panik. Pemuda bertopi terbalik itu langsung keluar ruangan dan melihat pemandangan yang membuatnya terkejut.

Adu du tengkurap di tanah yang becek. Air menahan kedua tangan Adu du di belakang tubuhnya. Ochobot yang menginjak kedua kaki Adu du dengan kaki kanannya.

"AKH! LEPASKAN! APA MAKSUDMU INI, AIR? OCHOBOT!?"

"Apa maksudku dan Air, heh? KAU PASTI TAHU MAKSUDKU KAN? TIDAK PERLU BERBOHONG!"

"Siapa yang ber–AKH!"

"Apa-apaan kalian ini? Lepaskan kak Adu du!" seru Gempa panik. Ia heran kenapa adiknya juga teman sekelasnya ini menyerang kakak kelas mereka.

"Ha-Halilintar." Lirih Ochobot setelah melihat Gempa yang ternyata mengenakan jaket si kembar tertua. Namun, ia tersadar akan topi khas milik Gempa. "Cih, kau mau menipuku, heh?"

"Tidak. Aku tidak bermaksud menipu. Kak Halilintar yang menyuruhku memakainya."

"Sudahlah itu tidak penting menurutku. Yang penting itu, ASAL KAU TAHU SAJA, GEMPA! DIA! DIA INI YANG MENGURUNGKU SAMA AIR DI DALAM!" Teriakan Ochobot mengalahkan suara guyuran hujan.

JDEEERRR

"Astagfirullah!"

Petir mengaum dengan kerasnya setelah Ochobot menyelesaikan perkataannya. Yaya pun reflek beristigfar. Setelah berhasil mengendalikan diri dari keterkejutannya, gadis berjilbab ini menatap Ochobot tajam.

"APA BUKTINYA?" Yaya berteriak dengan lantangnya. Yaya tidak suka ada tindak kekerasan. Dan dia ini perempuan. Masa dia harus melihat adegan kekerasan di depan matanya? Apa setiap lelaki selalu begitu? Melakukan adegan kekerasan sesuakanya.

"Bukti, heh!?" Ochobot menatap Yaya, lalu melirik Adu du yang masih meringis dengan tatapan tajam. Air nampak tenang saja.

Sebenarnya, Air tidak mengiginkan kekerasan seperti ini. Tapi kali ini, ia mempercayai analisis akuratnya. Dan jika analisisnya benar, ia tidak bisa membiarkan Adu du berada di dekat kakaknya. Bagaimana, jika kakaknya juga akan menjadi sasaran selain dirinya? Bisa di babat dia sama kakak tertuanya.

"Aku melihatnya memukul Air hingga pingsan. Aku juga sempat bertarung dengannya. Lalu, dia mendorongku hingga aku terbentur keras." Amarah Ochobot masih menguap-nguap. Pemuda pirang ini juga mengusap belakang kepalanya yang membengkak.

"Apa? Kalian menuduhku melakukannya?" Adu du kembali mengeluarkan suaranya. Pemuda bersurai hijau gelap klimis ini menatap Ochobot tak percaya.

"Apa kau benar melihatnya, Ochobot? Apa kau Yakin kalau kak Adu du yang melakukannya?" Ucap Gempa tenang. Si kembar tengah ini menatap Ochobot dengan pandangan yang entah dapat diartikan apa.

"Of Course. I'm not LIE!"

"Tidak! Kau tidak melihatnya. Kau tidak mengetahuinya." Yaya kembali bersuara. Kali ini, sang gadis berjalan menuju Ochobot. Dan berhenti tepat tiga langkah di depan Ochobot.

"Heh? Atas dasar apa kau mengatakan itu?" Ochobot menatap Yaya tajam. Yaya juga membalas dengan tatapan yang tak kalah tajam.

Air hanya melihat aksi tatap-tatapan itu dengan malas. Sungguh, sekarang celananya kotor. Ia pun menatap Adu du yang masih meringis. Ia tahu ini terlalu kejam. Jujur saja, ia pun tidak pernah sekejam ini. Namun, ia juga tidak mau mengambil resiko jika analisisnya tepat.

Gempa melihat Yaya dan Ochobot yang masih saling menatap tajam. Dan terdapat aliran listrik imajiner dari tatapan mereka berdua. Gempa sempat berpikir, andaikan Taufan di sini mungkin Yaya akan di bullynya. Dan hal itu akan mencarikan sedikit suasana perdebatan ini.

Ngomong-ngomong soal Taufan, Gempa jadi mengingat sang kakak tertua. Gawat! Sekarang hujan deras. Untungnya ia memakai jaket kakaknya, jadi hanya celananya saja yang setengah basah. Untungnya juga ia membawa payung. Tapi, tetap saja hari semakin menggelap. Bisa bahaya jika ia tidak pulang secepatnya.

"Kau tahu, pirang? A–"

"Aku tidak tahu tuh." Ochobot langsung memotong ucapan Yaya. Dan itu membuat Yaya berang.

DUG

"ADUHHH! SAKIIITTT!"

Ochobot langsung loncat-loncat dengan kaki kirinya. Pemuda bermata shapirre ini merasa kaki kanannya akan patah.

'Oh tidak! Kakiku… kaki berhargaku. Gimana aku berenang kalau kakiku patah. Terus harus di amputasi. TIIDAAKKK!' Batin Ochobot OOC.

"Rasakan itu, pirang!"

"Yaya! Sudahlah, lebih baik sekarang kau juga tenang. Air, lepaskan kak Adu du. Ada yang harus aku dan Yaya jelaskan pada kalian bertiga." Ucapan Gempa agak lirih, namun masih dapat di dengar ketiganya.

Air yang mendengar ucapan lirih sang kakak pun melepaskan Adu du. Adu du langsung saja berdiri namun agak limbung. Ochobot sudah berhenti dari loncat-loncatnya. Pemuda pirang itu berjalan pincang kearah Gempa yang telah duduk bersama yaya di depan teras.

Setelah memastikan ketiga pemuda itu duduk. Yaya menatap Gempa khawatir. Sedangkan Gempa, hanya menatap Yaya dengan senyum lembutnya. Air yang melihat kakaknya tersenyum lembut pada Yaya merasa ada yang tidak beres.

"Katakan sekarang, Gempa! Kau tahu? Aku ingin pulang secepatnya." Ochobot berkata kesal.

"Yah, kami pun ingin cepat pulang. Ibuku juga pasti mengkhawatirkanku." Lirih Yaya melihat langit kelabu yang semakin menghitam dengan jutaan ribu air yang turun membasahi bumi.

"Cepat jelaskan yang kau ketahui, Gempa. Jujur saja, aku risih dengan baju penuh lumpur ini."

"Kita juga harus cepat pulang, kak."

oOoOoOoOoOo

"Uh… hujan ini deras banget. Apa mungkin Gumiho sedang menangis ya?"

BLETAK
"Ini bukan drama Korea, Taufan!"

"Aduh… pukulanmu kayak kak Hali saja, Fang."

"Hihihi… HAHAHA…. Bener kak Taufan. Kayaknya Gumiho sedang nangis deh. Atau mungkin, Yakumo melukis suasana hujan badai di Pulau Rintis, lalu di realisasikannya. Gyahahaha…"

BLETAK

"Aw… sakit Fang!"

"Itu karna kau beri– UWAAA… KAU BISA NYETIR TIDAK SIH?"

"Pelan-pelan kak Halilin~"

"UWAA…. Aku masih mau hidup!"

"YOU ARE VERY NOISY! SHUT UP OR YOU WILL DIE!"

"I-iya, kak Halilin."

"Ok.. Ok.. Calm down Halilintar! Calm down!"

"BAGAIMANA BISA TENANG!? GEMPA DAN AIR DALAM BAHAYA!"

Hening.

Ketiga pemuda yang sedari tadi berisik -yang author yakin para readers telah menebak siapa mereka- itu terdiam, setelah pemuda yang identik dengan hitam-merah itu berteriak lantang, marah, kesal, panik sambil mencoba mengemudikan mobil di tengah hujan badai ini.

Mobil?

Yup, sekarang si kembar Boboiboy -minus Gempa dan Air-, sedang bersama Fang di dalam mobil yang Fang pinjam -tanpa izin- dari ayahnya -yang sedang keluar kota bersama ibunya- di tengah hujan deras dengan angin layaknya badai. Halilintar yang cemas dan marah memaksa kalau ia saja yang menyetir mobil. Fang pun tidak ada niat untuk menolak. Jika ia menolak, ia bisa pastikan ini hari terakhirnya melihat dunia.

Dan pasti, para readers sedang terbingung-bingung bagaimana bisa Fang juga ikut-ikutan dalam 'kehebohan' si kembar. Dari pada bingung, mari kita lihat flashback berikut ini.

Flashback

[From : Gempa
Kak Halilintar, maaf Gempa dan Air terlambat pulang. Ada sedikit masalah di sekolah. Oh ya, Yaya juga. Tolong kasi tau sama ibunya Yaya yah. Tenang saja, Gempa dan Air pasti pulang kok. Maaf ya jika lama dan membuat khawatir. Kak Halilintar, kak Taufan, dan Api sudah makan belum? Nanti kalau sempat, Gempa belikan makanan jadi ya.
Please, jangan khawatir. ^-^]

Halilintar langsung membanting ponselnya ke sofa setelah membaca pesan yang di kirim Gempa. Maunya ia melempar ponselnya itu ke lantai biar hancur sekalian. Tapi, ia masih ingat kalau ponselnya itu masih dibutuhkan di kehidupannya.

Taufan dan Api yang melihat sang kakak tengah meluapkan amarah yang sangat besar, menjauh dari sofa yang sedang mereka duduki. Mereka masih sayang nyawa. TV yang mereka tonton pun, langsung di matikan. Takutnya, suara dari TV akan memperbesar amarah sang kakak.

"Hah… hah… hah…"

Halilintar masih mencoba untuk menetralkan nafasnya yang memburu. Jujur saja, saat membaca pesan itu, ia merasa kedua adiknya itu dalam masalah yang besar. Halilintar tahu tabiat adik keduanya itu. Tidak mau membuat orang khawatir dan tidak mau merepotkan orang lain. Tapi, kata-katanya itu benar-benar membuat orang khawatir, apalagi dengan adanya kalimat yang tersirat 'sogokan'.

Halilintar makin yakin dengan firasatnya sejak tadi. Meskipun Gempa mengatakan kalau dia dan Air baik-baik saja, tapi Halilintar tak akan percaya lagi. Sebab, terakhir kali Gempa mengirimnya pesan seperti ini, adiknya yang paling kalem dan lembut itu masuk rumah sakit.

Taufan yang menyadari raut khawatir yang Halilintar tampakkan langsung saja mengambil ponsel sang kakak, tanpa memperdulikan peringatan Api. Taufan membelalak saat membaca pesan yang di kirim Gempa.

Terbukti sudah firasatnya. Entah ini benar-benar masalah kecil atau besar. Intinya, ia merasa ini menyangkut nyawa adik-adiknya yang manis itu.

Api yang penasaran kenapa kakak keduanya terdiam setelah melihat ponsel sang kakak pertama, langsung merampas ponsel yang di pegang Taufan. Api pun membaca pesan itu. awalnya ia hanya bersikap biasa saja. Tapi, setelah ia mengingat perasaan cemasnya yang ia sampaikan pada Halilintar dan Taufan, ia menjadi panik.

"Kita harus ke sekolah sekarang!" Seru Api dan langsung berlari menuju pintu depan. Namun, sebelum Api mencapai tiga langkah, tangannya sudah di tarik sama Taufan. Api langsung memberontak. Perasaannya semakin menjadi-jadi. Ia berharap, sang kakak dan sang adik baik-baik saja.

"Kak Taufan! Lepaskan! Lihat! Ini sudah jam setengah lima dan mereka belum pulang sama se–"

ZRAAASSSHHHH

"–kali…"

Hujan turun dengan derasnya membuat Api menghentikan perkataannya sejenak sebelum melanjutkan dengan nada yang lirih. Hujan kali ini, turun tanpa gerimis. Langsung turun dengan deras layaknya badai.

Ketiga kembar Boboiboy itu menatap Jendela yang meperlihatkan awan kelabu yang menggelap, juga hujan yang sangat deras. Kilat menerangi langit tanpa diikuti gemuruh guntur.

"Kita ke sekolah sekarang." Ucapan Halilintar dibalas dengan anggukan semangat Api. Namun, sama seperti keadaan Api. Halilintar yang belum mencapai tiga langkah, tangannya telah di tahan oleh Taufan. Jadi, kedua tangan Taufan masing-masing menahan tangan kedua saudaranya itu.

"APA MAKSUDMU TAUFAN? LEPASKAN AKU!" Halilintar memberontak juga membentak Taufan. Api pun melakukan hal yang sama. Tapi, entah mengapa tidak ada satupun dari mereka yang dapat terlepas dari tahanan Taufan.

"Kubilang LE–"

"Andaikan Gempa ada di sini, apa yang akan ia katakan pada kalian?"

Pertanyaan dari Taufan itu membuat Halilintar dan Api berhenti memberontak. Mereka berdua tiba-tiba saja merasakan aura yang menyesakkan. Dan lagi… nada suara Taufan tadi, sangat dingin. Dan ini merupakan hal yang tidak bagus.

Halilintar tahu kalau adiknya yang membelakanginya ini, tengah berfikir serius. Api pun juga berpikir sama seperti Halilintar.

Taufan memang terkenal dengan kejahilannya juga tawanya yang riang itu. Tapi, sekalinya marah atau bersikap serius, Taufan akan menjadi orang berdarah dingin seperti Halilintar. Dan bukan Taufan saja, Gempa, Api dan Air pun seperti itu. Meskipun diri sendirinya pun tak sadar.

"Tenang dan pikirkan dengan kepala dingin, mungkin?" Api berkata dengan nada ragu sembari mengingat-ingat apa yang akan dilakukan oleh kakak ketiganya itu.

Jujur saja, Api takut menghadapi kakak keduanya jika bersikap seperti itu. Bukan hanya dengan Taufan, dengan Halilintar dan Gempa pun juga. Kalau Air, ia sudah terbiasa tapi, tetap saja bagaimana jika Air juga bersikap seperti Taufan saat ini? Api semakin pusing memikirkan hal yang tidak penting ini.

Taufan melepaskan pegangannya saat merasa Halilintar dan Api tidak akan nekat. Pemuda bertopi kesamping itu berbalik dan menatap serius Halilintar dan Api. Taufan berjalan menuju telepon rumah yang berada tidak jauh darinya. Ia menekan tombol angka yang menjadi nomor tujuanya.

Halilintar yang melihatnya, mengetahui isi pikiran sang adik. Ia pun juga berfikir seperti untuk menelpon 'orang itu' dan meminta sedikit bantuannya. Meskipun ia sangat tidak suka dengan orang yang gila akan kepopuleran itu, namun siapa lagi yang terpikirkan?

"Halo Fang. Ini Taufan."

"…"

"Aku ke rumahmu dengan kak Hali dan Api."

"…"

"Ada suatu hal yang kami perlukan."

"…"

"Gempa belum pulang. Kau paham maksudku, bukan?"

"…"

"Sudahlah, aku ke sana sekarang."

"…"

"Yayaya… Bye."

Taufan mengakhiri percakapannya dengan Fang dengan balasan yang singkat dari biasanya. Pemuda itu menatap kedua pasang iris coklat kembarannya.

"Ayo kita kerumah Fang!"

Flashback End

Suara hujan tetap mendominasi keheningan yang terjadi di dalam mobil yang nekat melaju sendirian di tengah hujan deras ini. Meskipun sang pengemudi telah mengebut, nyatanya angin yang ia lawan sangat kencang. Hingga ia berusaha untuk membawanya dengan kecepatan sedang. Jika tidak, keselamatannya juga penumpang terancam.

JDEEERRR

Suara petir terdengar nyaring. Bahkan kilatannya pun sangat besar. Hal itu membuat ketiga pemuda yang menjadi penumpang ini, semakin kalut.

'Semoga kami sampai dengan selamat dan utuh.' Batin ketiga penumpang itu pasrah.

oOoOoOoOoOo

"O-oi… Gempa… kau ber-bercanda kan?" Ochobot menatap Gempa tak percaya.

"Sayangnya tidak, Ochobot." Gempa hanya menundukkan kepalanya.

Air menatap Gempa tidak percaya. Ternyata analisisnya salah total. Di saat ia mempercayai analisisnya sendiri, pasti akan salah. Di saat ia tak percaya dan orang lain percaya, pasti selalu akurat. Air jadi bingung akan analisisnya ini.

DUK

Ochobot terduduk dengan mata membelak. Ia tidak percaya ini. Ia berharap semua penjelasan Gempa hanyalah omong kosong. Ia berharap semua ini hanya mimpi. Ia berharap ia akan bangun di kasurnya dan melupakan kejadian hari ini.

Tapi, berkali-kali pun pemuda pirang ini berharap. Ia tidak dapat menutupi ataupun menghilangkan kenyataan yang ada. Kenyataan itu sesuatu yang real dan itu sangat berlainan dengan harapan yang, entah bisa terwujud atau tidak. Kenyataan bahwa ia telah salah menghakimi seseorang. Seseorang yang berniat menolongnya.

Air yang juga syok, menatap Ochobot dengan pandangan miris. Mereka berdua salah menghajar orang. Bukan Adu du yang mengurung mereka. Tapi, dengan seenaknya mereka langsung menghajar pemuda yang setahun lebih tua itu.

Sangat terdengar jahat bukan?

Apa mungkin mereka dijebak? Orang yang mengurung mereka itu menyamar layaknya Adu du, kecuali penutup kepala, agar mereka terjebak dalam kesalahpahaman. Yap, itulah analisis logika yang paling tepat menurut Air. Namun, ia merasa analisisnya itu entah benar atau tidak.

"Kau dengar itu, Ochobot? Air? Bukan aku yang mengurung kalian tapi kalian malah menghakimiku. Cih, padahal niatku baik membantu Gempa dan Yaya untuk menemukan kalian. Aku juga melihat orang yang membawa kalian itu memakai penutup kepala seperti yang Gempa katakan. Lain kali, kalian tanya dulu. Lihat! Bajuku kotor sekarang. Dan hari makin menggelap."

Adu du mengomel sambil berpose layaknya orang marah. Pemuda beriris coklat itu langsung berdiri dan mencoba membersihkan tanah basah di kemeja putihnya.

"Ma-maaf kak Adu du, Air dan Ochobot sudah salah sangka." Lirih Air yang sudah berdiri di depan Adu du dengan membungkuk.

"Maafkan aku, A– maksudku, kak Adu du." Ochobot mengikuti Air dari belakang dan berdiri bersisihan dengan Air di depan Adu du.

"Maaf? Heh, kalian pikir dengan maaf saja bisa!?" Bentak Adu du. Ia masih merasakan sakit di pergelangan tangannya juga kedua kakiknya.

Air dan Ochobot hanya menunduk, enggan melihat tatapan tajam yang Adu du berikan.

Adu du menatap kedua juniornya itu tajam nan kesal. Hey, siapa yang tidak kesal jika kau dengan baik hatinya ingin membantu menyelamatkan dua orang juniormu, lantas kau yang di hajar atas kesalahpahaman mereka? Pasti kesal banget bukan?

Gempa yang melihat itu, hanya tersenyum geli. Begitu pula dengan Yaya. Mereka berdua tahu Adu du telah memaafkan Air dan Ochobot, terlihat dari raut wajah Adu du.

Srek Srek

Gempa langsung menoleh ke samping kanannya di mana hanya ada semak-semak dan pohon yang besar. Pemuda bertopi terbalik ini merasa mendengar sesuatu yang bergerak-gerak. Entah nyata atau hanya perasaannya saja, ia juga merasa di perhatikan oleh seseorang dari arah Gedung Renang di seberang gudang tempat ia dan yang lainnya berada.

Yaya melihat Gempa yang terus memperhatikan semak-semak, merasa bingung. Memangnya apa yang menarik dari semak-semak itu? lebih menarik juga memperhatikan adegan ngembek-minta maaf di depan mereka.

'Seperti ada yang mengawasi kami. Jangan-jangan…'

Gempa langsung saja mengambil tas selempangnya yang ia taruh di dinding dan mengambil payung lipat yang ia pakai.

"Kau mau ke mana Gempa?"

Sungguh, Gempa merasa itu pertanyaan terbodoh yang Yaya tanyakan. Apa gadis itu tidak merasa ini sudah gelap? Dan… apa gadis itu merasakan ketidakberesan di sekililingnya?

'Tentu saja mau pulang.' Batin Gempa miris.

JDEEERRR

"HUWAAA…. YA ALLAH!" Pekik Yaya yang terkejut mendengar suara petir yang lebih nyaring dari yang sebelm-sebelumnya.

"Ayo kita pulang sekarang! Hari semakin gelap. Lagi pula, Air dan Ochobot juga sudah ketemu. Dan suara petir makin terdengar jelas." Ajak Gempa dengan nafas yang mulai agak… memburu?

"Ah! Benar juga. Ayo kita pulang sekarang!" Respon Yaya cepat. Gadis ini menyetujui perkataan Gempa. Dan jujur saja, suara petir yang terlalu nyaring seperti tadi bisa membuatnya terus berteriak hingga tenggorokannya sakit.

"Heh? Kau tidak sedang bercandakan, Gempa, Yaya? Aku bahkan belum memaafkan mereka." Adu du menatap Gempa dan Yaya dengan raut wajah tidak terima.

"Hihihi… sudahlah kak, aku dan Gempa tahu kok kalau kakak dah maafin mereka." Ucap Yaya dengan kekeh pelan -yang sudah meredakan ketakutannya karna petir- sembari memakai tas ranselnya lalu mengambil payung lipat bewarna pink yang ia pakai tadi.

Adu du hanya menatap Yaya sebal lalu menatap kedua junior di depannya.

Pluk Pluk

"Yayaya… kakak maafin. Hehehe… lucu juga liat wajah bersalah kalian." Kekeh Adu du sambil menepuk kepala Air dan Adu du yang lembab.

"Kalau bukan kak Adu du, siapa yang mengurungku dengan Air?" tanya Ochobot dengan pandangan serius.

"Untuk sekarang itu tidak penting. Ayo ki–"

SREK SREK

SIIINGGG
 
TAP
 
BUK

CRAT

"AKH!"

"ADUH!"

BRUUGGHH

Hening…

DRAP DRAP DRAP

DRAP DRAP DRAP

DRAP DRAP DRAP

DRAP DRAP DRAP

DRAP DRAP DRAP

JDAARRR JDAARRR

"GEMPAAAA!"

"AIIIIIRRR!"

oOoOoOoOoOo

"Khukhukhukhu… sudah di mulai rupanya." Sebuah suara menggema di ruangan yang gelap.

"Ya, Bos. Mangsa sudah memasuki jebakan." Terdengar lagi sebuah suara.

"Salah satu pemain telah game over." Dan satu lagi suara yang agak riang dari dua suara sebelumnya.

"Ini bukan permainan di Play Station!"

"Aku tahu, aku tahu. Tapi, bukankah mangsa juga termasuk pemain. Dan salah satunya telah game over bukan?"

"Ish, Ka–"

"Sudah cukup! Hentikan perdebatan kalian berdua!" Titah suara pertama, menghentikan perdebatan kedua suara itu.
 
"Baik Bos. Maafkan kami."

"Khukhukhukhu… KHAHAHAHA… Tidak ku sangka kelima kembar itu terjebak. Sampai membawa lima orang tambahan pula."

"Setidaknya, pemain tambahan itu lumayan, Bos."

"Hehehe… kau benar juga."

"Jadi bagaimana Bos? Apa kita harus menyambut mereka?"

"Ayo kita sambut mereka!" Ucap suara pertama yang di panggil Bos oleh dua suara lain. Dan terlihatlah sosok yang sedang berdiri dari bagian ruangan yang sangat gelap itu.

"Kita akan mulai permainan ini, Boboiboy bersaudara."
 .
 .
 .
Bersambung...?

Karangan : NaYu
Facebook : https://www.facebook.com/nabilah.sgm

Terimakasih.



0 comments:

Post a Comment

Fanfic : BoBoiBoy