Fanfic : BoBoiBoy

Chapter 1 : Bad Feeling

Pagi ini lain dari pada biasanya. Mengapa demikian? Sebab hawa pagi ini begitu sangat-sangat dingin, sejuk, adem, menyegarkan, dan sejenisnya. Mungkin karena hampir memasuki musim penghujan atau memang nanti akan hujan. Dan seperti biasa, terjadi aktivitas pagi yang menjadi rutinitas di salah satu rumah yang berada di Pulau Rintis.

"SAAKIITTT! KAK HALIII… BERHENTIII… TIDAK! PUTUS! LEPAS! HUWAAAAA…."
"HAHAHA…. TERUS KAK HALILIN! TERUS! YEAH! SEMANGAT KAK TAUFAN! AHHAHAHA…."

Karena suara-suara yang menjadi 'rutinitas wajib' secara tersirat itu, membuat seorang pemuda yang masih bergelung dalam kasur empuk nan nyaman terbangun. Ia duduk di pinggir kasur untuk mengumpulkan nyawanya yang belum utuh dengan sesekali menguap juga merenggangkan badannya.

Pemuda itu, melihat jam dinding yang terpasang di atas pintu kamarnya. Jarum pendek hampir mendekati angka 6 dan jarum panjangnya berada di angka 10. Pukul 5:50 jika melihat dari jam digital.

"AMPUUUNN…. SUDAH CUKUP!"

"AHAHAHAH… AYO LANJUT! LAWAN KAK TA–HUWAAA… AMPUUN KAK HALILIN!"

Lagi. Lagi-lagi rutinitas itu berlanjut. Ia mengira, rutinitas itu telah berhenti sejak ia bangun. Ia pun berpikir, apa yang kakak kedua dan keempatnya lakukan lagi pada kakak tertuanya? Mungkinkah kedua kakaknya yang jahil itu menyumbat hidung sang kakak tertua? Atau mungkin menyalakan speaker dengan suara full tepat di telinga sang kakak tertua? Mungkin juga menaburkan bumbu merica? Pusing memikirkan segala kemungkinan yang ada, ia memutuskan untuk mengambil handuk biru mudanya dan masuk ke kamar mandi. Dalam hati, ia berharap sang kakak ketiga segera mengeluarkan suaranya. Meskipun, ia sendiri tidak yakin.
.
.
Lagi dan lagi. Tidak pernah henti-hentinya ia mendengar suara heboh nan super yang telah menjadi rutinitas wajib. Ia yang sedang memasak, terlonjak kaget saat mendengar teriakan sang kakak kedua juga tawa sang adik pertama. Ia hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala mendengarkan suara-suara itu. Telinganya telah kebal. Jadi, ia tak menganggapnya pusing. Tapi tetap saja, ia khawatir pada tiga saudaranya itu.

"Apa lagi yang kak Taufan dan Api lakukan sama kak Halilintar?" Desahnya lelah.

Pemuda yang sedang memasak ini bernama Boboiboy Gempa. Biasa di panggil Gempa. Sebab, saudaranya yang lain juga bernama Boboiboy. Mereka di juluki 'Lima Pangeran Kembar' di SMP Pulau Rintis. Itu karena mereka kembar lima. Dan mereka benar-benar identik. Wajah tampan. Benar-benar idaman semua gadis. Yang membedakan mereka, hanya jaket tanpa lengan dan topi yang berbeda warna.

Gempa pun terkadang berpikir, apa yang ibunya makan saat mengandung mereka? Sebab, kelakuan mereka semua tidak sama. Perbedaannya tidak sampai 100% sih, tapi yah… begitu deh. Gempa juga sering kali bertanya pertanyaan yang sama pada ibunya mengenai nama yang ia dan saudara kembarnya, yang terlampau ajaib. Dan ibunya hanya tersenyum saja dengan mengatakan 'Firasat seorang ibu'. Itu pun membuatnya penasaran. Namun saat memasuki SMP, ia paham maksud perkataan ibunya.

Bicara soal ibu, apa ada yang penasaran kemanakah orang tua si kembar lima ini? Mereka berdua kerja di luar kota. Ayahnya sebagai dokter spesialis dan ibunya sebagai perancang busana. Biasanya, sebulan sekali mereka pulang. Dan karena itulah, yang mengurus pekerjaan rumah lebih banyak adalah Gempa. Karna dia yang paling pandai dalam hal ini. Terkadang saudaranya yang lain juga membantu.

"Huaaa… kak Gempa masak nasi goreng dengan nugget. Yey! Api sayang kak Gempa!" Seru pemuda dengan topi menghadap depan -yang agak ke atas- bewarna jingga-kuning dengan jaket tanpa lengan yang sewarna dengan topinya, sambil memeluk Gempa dengan pelan, karena Gempa menenteng nampan yang ada gelas berisi minuman mereka berlima.

Pemuda dengan topi terbalik, berjaket tanpa lengan berwarna hitam-kuning itu, melihat sang adik yang telah memeluknya tadi, duduk di meja makan sambil memakan nasi goreng dan nugget buatannya dengan lahap. Ia terkekeh melihat wajah ceria sang adik. Gempa meletakkan nampan berisi dua gelas susu, satu gelas kopi susu, dan dua gelas air putih di meja, lalu menatanya di dekat piring yang terisi nasi goreng. Termasuk dekat piring sang adik.

"Huh! Kak Hali kebangetan deh." Gerutu pemuda lain yang baru saja turun dari lantai dua. Pemuda dengan topi yang terpasang ke samping berwarna biru tua dengan garis lengkungan bewarna biru muda, juga jaket tanpa lengan yang selaras dengan topinya, berjalan sambil memijat pelan tangan kanan juga kirinya. Melihat itu, Gempa yakin sang kakak kedua habis di pelintir kebelakang.
"Hahaha… tapi, tadi itu seru, kak Taufan!"

"Hahaha… benar! That's so funny! Tapi, badanku sakit dan kau hanya tertawa, API!"

"Apa lagi yang kak Taufan dan Api lakukan pada kak Halilintar?"

Gempa akhirnya menanyakan perbuatan yang telah kedua saudaranya ini lakukan. Ia merasa kasihan pada kakak tertuanya yang sering di jahili juga pada kakak keduanya yang sering mendapatkan pelajaran. Gempa menunggu sambil menatap datar Taufan dan Api yang duduk di hadapannya.

"Yah… biasalah Gempa. Tadi itu, aku Cuma menarik kelopak matanya hingga terbuka lebar. Itu aja kok. Hihihi… lucu banget deh." Aku Taufan sambil terkikik geli.

"Yap! Matanya kak Halilin jadi besar. Hihihihi…" Api juga terkikik. Sementara Gempa hanya bisa menghela nafas berat. Ia merasa kelakuan kedua saudaranya yang usil ini benar-benar kebangetan, meskipun tak di luar batas. Setidaknya belum.

"Selamat pagi." Sapa lembut pemuda yang memakai topi menghadap depan -namun agak turun- warna biru muda dengan jaket tanpa lengan berwarna biru muda-putih.

"Pagi juga, Air." Balas Gempa, Taufan, dan Api dengan senyum khas mereka masing-masing.

"Ah! Pagi kak Halilintar." Sapa Gempa yang melihat Halilintar turun dari lantai dua.

"Pagi." Pemuda dengan topi menghadap depan seperti Air -namun tidak turun-, berwarna hitam-merah menyala juga jaket tanpa lengan selaras dengan topinya, membalas datar dan langsung mengikuti Air yang terlebih dahulu duduk dan memakan sarapannya.

"Aku sudah selesai." Seru Taufan dan Api, lima menit kemudian. Mereka berdua meletakkan piring juga gelas kotor ke tempat cuci piring dan langsung melesat mengambil tas mereka yang tergantung di sandaran kursi. Setelahnya memakai sepatu.

"Kami berangkat duluan ya. Assalamualaikum!" Seru mereka bersamaan lagi. Suasana hening setelah mereka pergi. Halilintar dan Air menjawab salam keduanya dalam hati, sedangkan Gempa mengucapkannya dengan riang.

Air yang melihat kakak kedua dan keempatnya telah berangkat. Bergegas menyelesaikan sarapannya. Setelahnya, ia menaruh piring kotornya juga gelas yang berisi air putih tadi di tempat cucian piring. Ia melihat Gempa dan Halilintar yang juga menyusulnya.

Setelah Air mengambil tas yang tersampir di sandaran kursi, ia berjalan ke depan untuk memakai sepatu. Air menoleh saat merasa ada seseorang di sampingnya. Ia melihat sang kakak juga memakai sepatunya dengan cepat.

Setelah Halilintar dan Air memakai sepatu mereka berdiri di depan pintu. Air dan Halilintar saling menatap. Berbicara melalui pandangan. Setelah menyelesaikan 'percakapan batin' itu, mereka tetap berdiri. Namun, Halilintar membuka pintu hingga merasakan udara pagi yang dingin berhembus menyapanya.

"Eh? Kalian belum berangkat?" Ucap Gempa saat melihat kakak juga adiknya yang ia kira telah berangkat menyusul Taufan dan Api.

"Air dan kak Halilintar ingin bareng dengan kak Gempa." Ucap Air sambil menunduk hingga topi biru mudanya menutupi ekspresi malunya itu.

"Eh? Kak Halilintar mau ke mana?" Tanya Gempa yang melihat Halilintar melesat melewatinya menuju lantai dua dengan sepatu yang masih terpasang. Gempa menatap Air yang hanya tersenyum lembut menatapnya. Gempa pun membalas senyuman adiknya yang selalu membuatnya tenang itu.
'Mungkin ada barangnya yang tertinggal.' Batin Gempa dan ikut menunggu Halilintar bersama Air.

Gempa yang masih duduk di bawah sambil mengikat tali sepatunya, merasakan berat di bagian punggungnya. Saat berbalik, Gempa melihat Halilintar berdiri di belakangnya sambil menatap datar. Ia juga melihat jaket berlengan panjang dengan warna hitam ber-les merah menyala tersampir di punggungnya.

"Pakai." Ucap Halilintar setelah Gempa kembali melihatnya dengan tatapan bingung. Halilintar berjalan melewatinya dan keluar dari rumah. Air masih tersenyum menunggu Gempa berdiri. Dan Gempa yang melihat tatapan Halilintar sebelumnya yang sempat melembut -sebelum keluar rumah- langsung berdiri dan memakai jaket milik sang kakak tertua. Gempa dapat mencium aroma mint khas Halilintar. Dan dia suka itu.

Gempa paham maksud tindakan Halilintar. Ia menghampiri Air yang tersenyum agak lebar dari sebelumnya. Gempa pun membalas senyumannya kemudian merangkul sang adik menuju sekolah. Tak lupa sebelumnya, Gempa telah mengunci pintu rumah mereka.

oOoOoOoOoOo

"Kak Taufan, Api juga mau main skateboardnya." Pinta Api sambil mengejar Taufan yang meluncur -menggunakan sketboardnya-, dengan sepatu roda yang ia pakai dari rumah.

Beginilah kebiasaan si kembar yang paling usil di SMP Pulau Rintis. Mereka datang sambil kejar-kejaran, sehingga para siswa-siswi yang tengah berlalu lalang di koridor kelas menyingkir agar tidak tertabrak.

"Ouh ayolah… segitu sajakah kecepatanmu, Api?" Goda Taufan dengan seringaian jenakanya. Ia masih meluncur dengan skateboardnya sambil melihat Api yang berada di belakang.

Api yang mendengar godaan sang kakak, tersulut emosinya. Meskipun Api orang yang sama-sama usil dan jahil seperti Taufan, tapi ia juga sama tempramentalnya dengan Halilintar. Jadi, bila si kembar keempat ini telah tersulut emosinya, akan mengerikan. Sama seperti Halilintar yang sedang marah.

"Kau meremehkanku, kak Taufan." Nada yang terdengar serius nan datar dari Api, membuat Taufan yang berada 10 meter di depannya merinding. Ia memang sering melihat amarah dari Halilintar setiap hari, namun melihat amarah dari sang adik di belakangnya hanya beberapa kali. Dan itu membuatnya memilih kena amukan Halilintar daripada Api.

"Kak Taufan melamun ya~" Suara familiar yang di mainkan itu membuatnya berhenti. Di tatapnya Api yang juga berhenti dengan senyuman yang entah dapat di artikan apa.

"Baiklah, baiklah… aku kalah! Nah, pakai sudah!" Mau tidak mau Taufan mengalah. Bahaya jika ia sendiri yang menghadapi sang adik yang sedang emosi yang tak terkontrol. Sebab, belum ada tanda-tanda dari Gempa. Karena, hanya Gempalah yang bisa membuat Api 'jinak'. Bukan Cuma menjinakkan Api saja, bahkan Halilintar pun dapat di jinakkannya.

"Yey, gitu dong. Ayo kita ke loker!" Api pun memimpin masih dengan menggunakan sepatu rodanya sambil menenteng skateboard milik Taufan. Dan Taufan hanya berjalan mengikuti sang adik.
.
.
"Kak Halilintar, Air, aku masuk kelas dulu ya." Ucap Gempa saat ketiganya sampai di depan ruang kelas 8C. Halilintar hanya mengangguk dengan wajah datarnya. Sedangkan Air, mengatakan 'ya' dan kembali melanjutkan perjalan menuju kelasnya dan Halilintar. Kelas mereka memang berbeda. Halilintar dan Air di kelas 8A, Taufan di kelas 8B, sedangkan Gempa dan Api di kelas 8C.

Air dan Halilintar kembali melanjutkan perjalanan menuju kelas mereka. Saat melewati kelas 8B, Air melihat kedua kakaknya yang berangkat lebih dulu sedang bercanda bersama seorang teman kelas Taufan. Air mengingat namanya Gopal. Dan Gopal termasuk siswa yang dekat dengan kedua kakaknya itu.

Setelah melewati perjalanan yang hening, Halilintar dan Air sampai di depan kelas 8A. mereka pun masuk ke dalam dan langsung di hampiri sama gadis berjilbab putih dengan jepitan warna pink di sebelah kanan.

"Pagi Halilintar. Pagi Air." Seru gadis itu semangat sambil melambaikan tangan pada dua saudara kembar di depannya. Padahal jarak mereka hanya lima langkah, tapi gadis itu tetap melambaikan tangannya dengan senyuman yang lebar.

"Pagi juga, Yaya." Air membalas sapaan Yaya yang memang sering ia dapatkan dengan lembut dan seulas senyum tipis. Sedangkan Halilintar, hanya melihat Yaya dan berjalan melewati Yaya menuju bangkunya.

Yaya yang melihat kelakuan Halilintar hanya menghela nafas. Ia sudah terbiasa dengan sikap si kembar tertua itu. Gadis itu menatap Air yang menepuk pundaknya. Ia melihat Air menatapnya dengan tersenyum malu.

"Ma-maafkan kak Halilintar ya, Yaya."

Yaya hanya tersenyum lebar sambil menepuk kepala Air. "Hey, aku sudah terbiasa dengan sikapnya itu, Air. Hahaha… kalau dia membalas sapaanku, dunia pasti sudah kiamat. Hahaha…" Dengan berakhirnya kalimat itu, Yaya kembali duduk di bangkunya dan berbincang bersama temannya kembali.

Air pun berjalan duduk di samping Halilintar. Yap, di kelas ini, Air sebangku dengan Halilintar. Sebab, tidak ada yang berani duduk sebangku dengannya. Bagaimana tidak? Halilintar akan mengeluarkan aura membunuhnya jika orang yang duduk di sampingnya itu berisik. Al hasil, tidak ada yang berani duduk dengannya, kecuali sang adik. Sebenarnya sih, Yaya sempat duduk dengannya tapi, ia pindah. Bukan. Bukan karna Yaya takut, tapi karna Halilintar yang mengusirnya dengan lantang dan datar.

Air melihat sang kakak tengah memasang earphone putih di I-podnya dan memulai rutinitasnya tiap sampai di sekolah.

Tidur.

Air hanya menghela nafas pasrah melihat kelakuan sang kakak yang tiap harinya sama aja. Ia pun mulai mengambil buku pelajaran dari dalam tas dan mempelajari pelajaran sebelumnya.

Jika Api gabungan antara sifat Halilintar dan Taufan. Maka Air gabungan sifat antara Halilintar dan Gempa. Eits, bukan sifat tempramentnya, tapi sifat pendiamnya. Air memang pendiam seperti Halilintar tapi, tidak separah Halilintar. Air masih tahu situasi dan kondisi, sedangkan Halilintar tidak peduli apa pun situasinya, ia akan melakukan hal yang ingin ia lakukan. Kalau dari Gempa, sudah pasti sifat rajin dan tanggung jawabnya. Air memang rajin sama seperti Gempa. Jadi, yang paling sering membantu Gempa melakukan pekerjaan rumah selain Taufan -jika di suruh-, adalah Air. Dan masakan Air juga tidak kalah dari masakan Gempa.
.
.
Bel istirahat kedua semenit yang lalu telah berbunyi. Dan semenit yang lalu pula, kelas 8C telah sepi. Hanya ada Gempa di dalamnya. Seharusnya, ia sedang berada di ruang OSIS -untuk mempersiapkan rapat nanti sepulang sekolah- saat ini, namun ia masih mengingat kejadian tadi pagi. Sungguh, ia masih geli dengan ekspresi teman-temannya saat ia masuk dengan mengenakan jaket yang sang kakak tertua pinjamkan padanya.

Flashback

"Kak Halilintar, Air, aku masuk kelas dulu ya." Ucap Gempa saat ketiganya sampai di depan ruang kelas 8C. Gempa melihat sang kakak mengangguk sedangkan sang adik mengatakan 'ya'.

Gempa memasuki kelas yang memang sudah lumayan ramai. Saat ia melewati pintu, sontak semua teman-teman kelasnya berhenti berbicara antar satu dengan yang lainnya. Mereka semua melihat Gempa layaknya hantu yang paling mengerikan sedunia. Gempa yang awalnya ingin mengucapkan kata 'Selamat pagi' mengurungkan niatnya saat melihat wajah teman-teman sekelasnya menjadi pucat. Ia hanya mengernyitkan dahinya bingung.

"Ha-Halilintar… umm… maaf, a-apa kau ti-tidak salah memasuki kelas?" Tanya sang wakil ketua kelas 8C, Iwan. Gempa merasa aneh dengan Iwan, kenapa ia mengira dirinya ini Halilintar? Gempa hanya diam mengamati Iwan yang menatapnya dengan ketakutan. Pemuda bertopi terbalik itu menatap sekeliling kelas dan hanya mendapatkan tatapan takut dari teman-temannya.

"Kenapa kalian memanggilku Halilintar?" Tanya Gempa pada akhirnya. Dan pertanyaan yang dikeluarkan tanpa nada datar juga aura mencekam yang biasanya berasal dari halilintar, membuat semua penghuni siswa-siswi yang ada menatap Gempa dengan bingung.

"Bukannya kau Halilintar?" Tanya Iwan sambil menunjuk jaket yang dipakai Gempa.

"Hah?"

Gempa hanya melongo melihat jaket yang ia kenakan. Ya ampun… ternyata hanya gara-gara jaket ini mereka semua menyangkanya sang kakak tertua?

"Hahahah… kalian semua mengira aku kak Halilintar? Hahaha…" Gempa tak bisa menahan ketawanya lagi. Ia tertawa sambil menunjuk topi berwarna hitam-kuning emas yang di pasang terbalik. Ia juga melepaskan jaket lengan panjang milik Halilintar dan menampakkan jaket hitam-kuning emas tanpa lengannya.

"Jadi kau Gempa?"

"Hehe… iya!" Gempa hanya tertawa malu sekarang.

Flashback End

"Hihihi… tadi pagi itu sangat lucu." Gumam Gempa setelah selesai mengingat kejadian pagi tadi. Ia mengeluarkan jaket sang kakak. Setelah melihat jaket sang kakak pertama, ia melihat keluar jendela.
"Makin mendung saja ya? Untungnya belum hujan." Ucapnya pada diri sendiri. Ia kembali melihat jaket Halilintar. Kemudian, ia membuka tasnya dan melihat bahwa ia tidak lupa membawa payung. Gempa merasa hari ini akan hujan, jadi tadi pagi ia menaruh payung dalam tasnya.

"Lebih baik aku ke ruang OSIS sekarang." Gumamnya setelah menaruh kembali jaket sang kakak dan beranjak menuju ruang OSIS.
.
.
"Air!"

Air yang baru saja keluar dari toilet menghentikan langkah menuju kelas saat mendengar namanya di panggil. Ia menolehkan kepalanya ke belakang dan melihat salah satu teman se-klub-nya melambaikan tangan. Air pun menghampiri pemuda itu.

"Apa nanti kita latihan lagi, Ochobot?" Tanya Air to the point pada pemuda bersurai pirang yang hanya menggarukkan belakang kepalanya.

"Yah… begitulah, si Adu du yang bilang. Hehe… aku sudah bilang kalau nanti akan hujan dan pasti dingin, tapi dia tidak mau dengar." Jelas Ochobot pada Air dengan wajah lesu. Air yakin, kalau Ochobot pun tidak mau mengikuti latihan di saat mendung begini. Apalagi udaranya dingin.
"Dia itu kakak kelas kita, Ochobot."

"Aku tau, aku tau. Tapi Air… dia itu tidak pantas di panggil kakak kelas."

"Terserah kau sajalah. Nanti aku akan datang ke gedung renang."

"Baiklah. Kalau gitu sampai nanti, Air." Ochobot pun menghilang dari hadapan Air. Air hanya menghela nafas pasrah. Dia memang salah satu anggota dalam klub Renang, begitu pula Ochobot. Dan Air merupakan anggota yang terbaik sebab, dapat menahan nafas dalam air lebih lama dari manusia rata-rata. Dan renang juga memang hobbynya jadi, ia tidak masalah mengikuti latihan di hari yang akan hujan nantinya. Tapi, masa segitu teganya Adu du, sang ketua klub, menyuruh mereka latihan!?
.
.
TENG~ TENG~ TENG~
Bel pulang pun akhirnya berbunyi. Semua siswa-siswi SMP Pulau Rintis pun segera meninggalkan kelas dan berlari pulang sebelum hujan datang. Begitu pula yang Halilintar pikirkan. Ia secepat mungkin memasukkan buku-bukunya juga peralatan menulisnya ke dalam tas, menyelempangkan tas di bahu kirinya, lalu beranjak dari kursi dan menghampiri Air.

Air yang sedang mengemasi barang bawaannya melihat Halilintar berdiri di sampingnya. Ia tahu kalau kakak tertuanya itu menunggu untuk pulang bersama. Yap, begitulah Halilintar. Meskipun terlihat cuek, dingin, dan sebagainya, tapi ia sayang pada adik-adiknya. Ia selalu menghampiri adiknya untuk di ajak pulang hanya dengan tatapan tanpa bicara. Itu pun jika ia tidak ada kegiatan di klub karate.

"Maaf kak Halilintar, hari ini Air ada latihan renang." Ucap Air lirih. Halilintar menatap adiknya dengan bingung. Kenapa dengan cuaca mendung begini masih ada latihan renang? Kalau latihan karate tidak masalah. Nah renang? Apa tidak masalah tuh?

"Siapa?"

Air mendongak saat mendengar pertanyaan sang kakak yang ambigu itu. Siapa? Siapa apanya? Ah! Air tahu maksud kakaknya. Ia menatap sang kakak lalu kembali menunduk.

"Tadi Ochobot memanggil Air saat baru keluar dari toilet. Dia bilang kak Adu du menyuruh latihan sepulang sekolah ini. Tenang kak Halilintar, Air tidak apa-apa kok. Kak… kak Halilintar pulang dengan kakak yang lain saja ya. Maaf." Jelas Air sambil menundukkan kepalanya hingga tak terlihat bagaimana ekspresinya, karena topi biru mudanya menghalangi.

Air takut kakaknya akan marah dengan Adu du yang menyuruhnya latihan di hari yang mendung nan dingin ini. Makanya dia mengatakan 'Tenang' dan 'Maaf'.

Halilintar memegang dagu Air dan mendongakkan kepala Air yang menunduk. Ia menatap wajah Air yang agak khawatir jika tidak diizinkan. Halilintar pun melepaskan pegangannya dari dagu Air dan menghela nafas pasrah.

"Terserah. Tapi, jangan lama." Ucap Halilintar dan langsung keluar kelas meninggalkan Air yang sedikit terbelak karena diizinkan. Sedangkan Yaya, yang sedari tadi melihat interaksi si kembar Boboiboy, tersenyum melihatnya. Dan tiba-tiba saja, lampu imajiner yang menyala berada di atas kepalanya. Gadis dengan jilbab berjepit itu pun tersenyum senang.
.
.
Halilintar berjalan menuju kelas Taufan. Ia hanya menatap datar ke depan. Tak memperdulikan pekikan (baca : teriakan) para siswi yang melihat style cool-nya. Saat pemuda bertopi hitam merah ini berada di depan kelas 8B, refleks ia mundur dengan cepat. Dan pada saat yang bersamaan, Taufan keluar dari kelas dengan skateboardnya.

Untungnya, Halilintar memiliki insting yang kuat sehingga ia dapat menghindari saudaranya yang tengah meluncur dengan cepat. Taufan sendiri pun juga sempat terkejut saat melihat sang kakak berada di depan pintu kelas. Ia sebelumnya ingin berhenti, namun ada niat tersendiri ia tetap melajukan skateboardnya.

"Fyuh… itu tadi hampir saja loh, kak Hali~" Ucap Taufan dengan senyuman lebarnya dan hendak merangkul Halilintar. Namun dengan cepat, Halilintar menepis tangan sang adik pertama lalu menatap Taufan tajam. Halilintar tahu kalau adiknya itu sengaja tidak berhenti, namun ia tidak mau mempermasalahkan hal itu.

"Hahaha… baiklah kak Hali~, aku tak akan menyentuhmu, hihihi…" Beginilah jika Taufan berada di dekat Halilintar. Tidak henti-hentinya ia menggoda sang kakak.

"Loh? Air mana? Kok tidak bareng?" Tanya Taufan heran.

"Di klub."

Jawaban yang teramat singkat itu berhasil menghentikan pemikiran Taufan mengenai di mana keberadaan sang adik bungsu berada. Tapi, yang membuatnya heran bukankah sekarang hujan? Kenapa sang adik berada di klub?

"Di suruh sama Adu du."

Oh~ begitu. Hm..hm.. sekarang Taufan tau alasannya. Taufan tidak heran kakaknya dapat menjawab apa yang dipikirkannya, karna begitulah mereka. Bahkan, Halilintar dapat menebak pikiran adik-adiknya yang lain. Hebat bukan!

"Seharusnya kak Hali panggil dia 'kak Adu du'."

"Terserah."

Taufan hanya terkikik mendengar nada ketus dari sang kakak. Taufan sih maklum saja atas sifat sang kakak yang tidak akan memanggil senior mereka dengan sebutan 'Kak', jika orang itu tidak pantas menyandangnya. Sama seperti perkataan Ochobot pada Air tadi.

"Halilintar! Taufan!"

Mendengar seruan seorang gadis, Halilintar dan Taufan yang merasa namanya di panggil pun menoleh ke belakang.

"Hai, Yaya!" seru Taufan sambil melambaikan tangan pada Yaya yang berlari.

"Hah…hah… untung… ter..hah… terkejar…" Ucap Yaya dengan terengah-engah. Halilintar hanya menatap datar. Sedangkan Taufan, ia menatap bingung gadis berjilbab putih di depannya ini.

"Heh? Kau merindukan sang pangeran ini ya? Ouh, kau ingin meminta tanda tanganku? Padahalkan kau bisa ke rumah." Goda Taufan setelah melihat Yaya berhasil menetralkan nafasnya kembali.

"Halilintar, hari ini Gempa dan anak OSIS lainnya ada rapat, jadi tidak bisa pulang bareng kalian bersaudara." Ujar Yaya mengabaikan godaan Taufan padanya.

"Hey! Aku ada di sini Yaya." Pekik Taufan tepat di telinga Halilintar. Langsung saja Halilintar memukul kepala Taufan dengan keras seperti biasa. Lalu, ia mengusap telinganya yang sempat berdengung itu.

"Auw… sakit kak Hali~!"

"Ahahaha… sakit Taufan? Sini~ biar Princess Yaya yang sembuhin." Yaya sekarang yang menggoda Taufan. Di saat mereka saling 'bertanding godaan' Halilintar langsung berbalik dan melanjutkan perjalanan yang tertunda tanpa menghiraukan Taufan dan Yaya yang asik mengadu godaan. Halilintar ingin mendengar dari Gempa sendiri mengenai rapat OSIS itu. Halilintar tahu kalau Yaya bukanlah gadis yang suka berbohong, tapi ia agak mengkhawatirkan adik keduanya itu.

"Yah… kan hari ini mendung, kak Gempa. Mau hujan loh. Kok ada rapat sih?"

"Maaf ya, Api. Kamu pulang bareng dengan kak Halilintar, kak Taufan dan Air saja ya."

"Ish, kok gi– eh? Kak Halilin?"

Percakapan Gempa dan Api yang sambil berjalan pun terhenti saat melihat Halilintar berada di depannya, berdiri di depan pintu entah kapan.

"Huwaa… kau tega meninggalkanku, kak Hali." Taufan menghentikan laju skateboard miliknya saat di hadapan Halilintar.

"Bener, teganya kau meninggalkanku dengan si usil ini." Yaya pun menghentikan laju larinya.
"Usil tapi ganteng kan?"

"Cih, kau menggodaku karna aku cantik bukan?"

"Ouh, yap kau memang cantik Yaya. Dan… apa kau menyukaiku?"

"Hahaha… apa kau bercanda?"

DUAK
 
DUAK

Dua pukulan telak Halilintar berikan Taufan juga Yaya. Halilintar tidak peduli ia juga memukul seorang gadis, intinya mereka berdua sangat berisik. Dan Halilintar tidak suka dengan hal itu. Lagi pula, Yaya termasuk gadis yang kuat. Kenapa? Karna, Yaya merupakan ketua klub Tae kwon do. Jadi… tidak masalah bukan?

"HAHAHAHA…. Pukul lagi kak Halilin! Hahaha…"

"Kak Taufan! Yaya! Kalian tidak apa?"

"Aku tidak apa-apa kok, Gempa. Biasa saja."

"Ouh, kau perhatian banget dengan kakakmu ini, Gempa." Ucap Taufan sambil mendelik pada Api yang masih saja tertawa.

"Loh, Air kemana?" Tanya Gempa setelah mengitari sekeliling koridor mencari di mana adik bungsunya berada.

"Dia ada latihan di klub renang." Jawab Halilintar datar.

"Eh? Dia latihan? Kenapa kak Halilintar tidak melarangnya? Udaranya mendung loh. Gimana kalau nanti masuk angin?" Tanya Gempa cemas. Dia tahu kalau fisik sang adik bungsu memang kuat. Tapi tetap saja, di udara yang dingin ini tidak baik untuk berenang.

"Dia yang bilang tidak masalah."

"Sudahlah, hari ini kita ada rapatkan, Gempa? Jadi, biar nanti Air bareng pulang sama kamu dan aku saja." Yaya menengahi percakapan antara Halilintar dan Gempa. Kalau begini terus, kapan dia dan yang lainnya memulai rapat. Lagi pula, rumahnya memang berdekatan dengan si kembar lima. Dan dia memang temanan sejak kecil dengan si kembar lima ini. Jadi, Yaya tahu sifat dan sikap mereka. Oh… ada seorang lagi sih yang menjadi teman sejak kecil Yaya dan si kembar lima, tapi author merahasiakannya.

"Ah! Bener tuh kata Yaya. Ayo kita pulang kak Hali!"

"Yey, di rumah bareng kak Halilin dan kak Taufan, hihihihi…"

Taufan dan Api sangat bersemangat mengetahui kalau mereka akan bertiga dengan Halilintar di rumah. Itu tandanya, mereka bisa mengerjai sang kakak tertua.

"Kak Halilintar dan kak Taufan tidak ada kegiatan klub?"

"Tidak."

"Klub skateboard milih di rumah. Hehehe…"

"Klub sepak bola lagi malas latihan." Ucap Api dengan senyum lebar.

"Tidak ada yang nanya." Ketus Taufan. Dan terjadilah debat antara Taufan dan Api.

"Oh ya!" seru Gempa teringat akan sesuatu dan langsung mengobrak-abrik tasnya. "Ini! Makasih jaketnya ya, kak." Gempa menyodorkan jaket milik Halilintar dengan senyuman khasnya. Sedangkan Halilintar menatap jaket miliknya dan wajah Gempa secara bergantian. Jaket. Gempa. Jaket. Gempa. Begitu seterusnya dengan jeda waktu 3 detik.

"Eh? Kak Halilin meminjamkan jaket pada kak Gempa!" pekik Api berlebihan dan langsung menyambar jaket milik Halilintar. Baginya, memakai barang milik kakak pertamanya itu suatu hal yang langka atau tidak akan pernah terjadi. Sebab, Halilintar tipe orang yang tidak akan meminjamkan barangnya jika orang itu mempunyai barang yang sama. Dan si kembar pertama itu meminjamkan barangnya pada si kembar ketiga. Siapa yang tidak iri? Setidaknya itu yang dipikirkan Taufan dan Api.

"Hey, Api! Kemarikan jaket kak Hali! Aku juga mau memakainya!" seru Taufan kemudian. Api langsung menghindar dan masuk ke dalam kelas 8C yang telah kosong. Mereka berdua saling kejar-mengejar layaknya anak SD. Melewati kursi. Melewati meja. Melompati kursi. Melompati meja. Sampai naik di atas kursi dan meja pun mereka lakukan.

"BERHENTI!" Seruan lantang dari Halilintar membuat Taufan dan Api yang saling mengejar berhenti. Yaya dan Gempa hanya bisa membatu. Gawat! Jika Halilintar marah, bisakah Ketua OSIS dan Sekertaris OSIS ini sampai dengan selamat di ruang OSIS?

Halilintar langsung menghampiri kedua adik yang membuatnya naik darah. Langsung saja di ambil jaket miliknya itu dan memberikannya pada Gempa. Dan kembali menghampiri Taufan juga Api, lalu memukul tengkuk mereka hingga tak sadarkan diri dengan mulut terbuka dengan tidak elitnya. Halilintar menarik kerah kedua adiknya itu dan langsung menyeret Taufan dan Api layaknya mayat yang akan di buang begitu saja. Skateboard milik Taufan, ia masukkan paksa dalam tas pemiliknya.

"Pakai jaket itu. Pastikan kau mengembalikannya saat pulang nanti. Jangan terlalu lama! Ajak Air pulang bersamamu dan Yaya. Aku pulang dulu." Ujar Halilintar dengan datarnya dan pergi -menyeret Taufan dan Api- begitu saja dari Gempa dan Yaya yang menatapnya cengo.

"Hehehe… tidak masalah tuh, si Taufan dan si Api?" Yaya bertanya sambil tertawa canggung.

"Hehe, kau pun sudah tau jawabannya, Yaya. Ya sudah, ayo kita ke ruang OSIS! Aku juga sudah SMS Air tadi."
.
.
[From : Kak Gempa
Air! Kata kak Halilintar kamu ada latihan ya? Nanti pulang bareng sama aku dan Yaya ya. Soalnya kami juga ada rapat. Kalau kamu sudah selesai, sms aku. Nanti kalau aku juga selesai, akan ku sms. Kamu bawa payung kan? Buat jaga-jaga kalau hujan. Soalnya aku bawa dua kalau kamu tidak bawa.]

Air menatap pesan yang di kirimkan sang kakak ketiga. Ia hanya menatap pesan itu lesu. Kakaknya ini terlalu baik. Saking baiknya, ia membawa dua payung buat jaga-jaga. Padahal kakaknya itu tau sendiri kalau dia selalu sedia yang namanya payung. Ia juga merasa kasihan pada kakaknya itu. Hampir setiap hari rapat. Padahal seharusnya, tidak perlu memaksakan diri seperti itu.

"Hey, Air! Kenapa kau melamun? Tuh, dah di panggil si Adu du." Pemuda dengan surai kuning yang kita ketahui bernama Ochobot menatap Air heran.

"Kak Adu du, Ochobot."

"Terserahlah."

"Hah~… Kak Gempa sms aku, dia bilang nanti pulang bareng." Jawab Air datar. Ochobot pun hanya mengangguk.

"Aku balas dulu. Nanti aku nyusul." Ucap Air kemudian dan langsung membalas sms dari sang kakak. Ochobot juga segera berkumpul dengan siswa-siswi yang mengikuti klub renang.

"Perasaanku kok tidak enak ya." Gumam Air sambil menatap pesan yang sedang melakukan proses pengiriman.
.
.
[From : Air
Nanti Air sms. Air bawa payung kok.]

Gempa menatap sms dari Air dengan senyuman tipis. Beginilah adik bungsunya. Membalas singkat dan jelas.

"Gempa, kenapa senyum begitu?" Tanya salah satu anggota OSIS yang melihat Gempa tersenyum menatap ponselnya.

"Ah~ tidak apa-apa. Ya sudah, ayo kita lanjutkan rapat ini!" Ucapnya lembut namun penuh dengan wibawa.
oOoOoOoOoOo
"Kak Taufan~ kok gak hujan-hujan sih!" Rengek Api pada Taufan yang sedang asik sendiri dengan game RPG di depannya.

"Bukannya bagus kalau belum hujan." Jawab Taufan seadanya sambil terus memainkan stik game yang dia pegang.

Api yang melihat kakaknya asik sendiri memutuskan keluar kamar. Padahal ia mengira akan asik bermain PS dengan kakaknya -setelah sampai rumah dengan selamat- itu, tapi entah kenapa hari ini terasa sangat aneh. Mungkin perasaannya yang aneh. Semacam khawatir gitu.

Api berjalan menuju dapur dan langsung membuka kulkas. Ia melihat masih ada cake kemarin yang belum habis. Untunglah ada makanan ringan, jadi dapat mengendalikan perutnya yang keroncongan ini. Sebenarnya, Api sudah makan. Tapi, karena bosan main game bersama Taufan membuat perutnya kelaparan lagi.

"Hah~, andaikan sudah hujan, aku bisa main hujan-hujanan hari ini." Gumamnya lirih kemudian menyendokkan kue ke dalam mulutnya.

"Bagus kalau belum hujan."

"Kak Halilin?" Ucap Api saat mendengar suara familiar sang kakak tertua. Halilintar langsung duduk di kursi tepat di hadapan Api setelah mengambil kopi kalengan dari kulkas.

"Loh kak? Kok minum kopi yang dingin?"

"Masalah?"

"Tidak sih."

Hening. Entah kenapa kalau Api hanya dengan Halilintar, ia tidak akan mengoceh banyak. Lain halnya jika Api dengan Taufan berhadapan dengan Halilintar. Pasti akan terjadi kehebohan yang luar biasa dan berakhir dengan teriakan yang lebih luar biasa lagi.

"Kenapa?"

"Ha?" Api bingung saat tiba-tiba kakak tertuanya itu bertanya dengan ambigu. 'Kenapa' apanya? Api melihat sang kakak menatapnya menyelidik. Apa mungkin perasaan aneh Api terbaca oleh Halilintar? Karena seingatnya, Halilintar dapat mengetahui perasaan yang di sembuanyikan saudara-saudaranya.
Karena melihat kelemotan Api dalam menjawab pertanyaannya yang simple, Halilintar meneguk kembali kopi kalengan yang telah di minumnya setengah sampai habis. Halilintar sedikit merasa beruntung hanya mempunyai satu orang adik yang memiliki kelemotan dalam berpikir. Kalau keempat adiknya seperti itu, entah apa jadinya dia.

"Apa yang membuatmu tertekan?" Ucap Halilintar setelah menghabiskan minumannya. Ia menatap Api yang hanya menunduk dengan wajah lesu. Dan itu semakin membuatnya percaya akan pertanyaannya tadi. Jarang-jarang loh melihat wajah Api yang lesu seperti itu. Dan biasanya jika Api mengeluarkan wajah lesu seperti itu, ia sedang memikirkan sesuatu yang membuatnya tertekan.
"Api juga tidak tahu, kak Halilin. Rasanya Api ingin ke sekolah." Gumam Api setelah mendorong piring kecil berisi kue yang belum habis.

"Jadi, kau juga merasa seperti itu ya, Api. Umh… apa kak Hali juga merasakan itu?"
Suara Taufan terdengar di penjuru ruang makan. Api tersentak mendengar suara yang kakak kedua. Sedangkan Halilintar, ia tidak kaget. Karena, ia tahu kalau sedari ia duduk di kursi Taufan sudah berada di balik tembok.

"Kak Taufan, kok di sini?"

"Kau tega sekali, Api. Kan aku mengkhawatirkanmu yang tiba-tiba menghilang begitu saja. kau tahu? Aku panik sekali." Jelas Taufan dengan wajah yang dibuat sangat khawatir dengan air mata buaya yang mengalir deras. Halilintar hanya menatap jijik adik pertamanya itu. Ia merasa dirinya di beri cobaan yang teramat berat karena mendapatkan adik kembaran yang amat sangat berlebihan. Sedangkan Api, merasa geli dengan kelakuan kakaknya itu. dia tahu kalau Taufan hanya bercanda. Lihat saja wajahnya yang terlalu lebay bin alay itu. Sumpah, Api merasa bersyukur mempunyai kakak yang sehati dengannya. Api hanya terkikik sambil memeluk perutnya.

"Kalau sampai hujan mereka belum kembali, kita pergi ke sekolah." Ucap Halilintar tegas. Taufan dan Api menatap Halilintar yang berjalan menuju kamarnya di lantai dua. Satu yang menjadi pikiran mereka sekarang.

'Perasaanku tidak enak.'
oOoOoOoOoOo
"Baiklah, kesimpulan rapat hari ini. Kita akan membuat proposal untuk ulang tahun SMP Pulau Rintis. Pengambilan dana. Dan melakukan rapat dengan Kepala Sekolah juga perwakilan guru. Rapat saya akhiri. Sampai ketemu di rapat selanjutnya." Gempa menyelesaikan perkataannya dan segera mengirim pesan pada Air jika ia sudah selesai. Sebab, belum ada sms dari Air, itu artinya latihan sang adik belum selesai.

"Kami duluan ya, Ketua, Yaya, Fang!" Seru anggota OSIS yang lain pada Gempa, Yaya, dan Fang yang masih berada di dalam ruangan.

"Ya, hati-hati." Balas Gempa. Pemuda bertopi terbalik itu melihat Yaya yang masih sibuk dengan laptopnya. Juga Fang yang sedang membereskan barang bawaannya.

"Kau tidak pulang, Gempa, Yaya?" Tanya pemuda berkacamata itu yang melihat Yaya masih sibuk di depan Laptop dan Gempa yang melihatnya dengan tatapan 'kok belum pulang?'.

"Ah! Benar juga. Ayo kita pulang Gempa!" Yaya langsung menutup laptopnya dan memasukkan dalam tas. Gempa menatap Fang yang mungkin menunggu mereka berdua.

"Kau duluan sajalah, Fang. Aku dan Yaya mau ke gedung renang dulu. Air latihan hari ini. aku dan Yaya pulang bareng dengannya." Jelas Gempa pada Fang.

"Aku bareng kalian juga." Ucap Fang.

"Tidak perlu, nanti kamu malah ke sorean."

"Jadi kau lebih memilih pulang dengan Yaya? Padahalkan rumah kita sama-sama dekat." Benar yang Fang katakan. Seorang yang Author bilang di chapter sebelumnya, adalah Fang.

"Aku cuma tidak mau merepotkanmu."

"Ya. Dan kau senang kalau merepotkan Yaya."

"Bukan begitu, Fang. A–"

"Gempa tidak pernah mau merepotkanku, Fang. Tadi aku yang bilang sama Halilintar kalau akan pulang bareng Gempa."

"Lah? Memangnya aku harus izin sama si stoic itu?"

"Sudahlah Yaya, kau pulang sama Fang sajalah."

"Tidak! Aku pulang bareng kau dan Air."

"Tapi…"

"No problem, aku sendiri saja. Aku duluan ya." Ucap Fang kesal dan langsung keluar dari ruang OSIS tidak memperdulikan ucapan maaf Gempa.

"Hati-hati." Balas Yaya lirih. Ia tahu kalau Fang ngambek. Jujur saja, ia tidak keberatan pulang berempat dengan Fang sebagai tambahan. Tapi, Gempa menolak. Bahkan, tadi dia juga di suruh pulang. Untung saja ia berkata tegas pada Gempa. Lagi pula, ia juga yang meminta pada Halilintar. Ia tidak mau Halilintar men-cap-nya sebagai gadis yang tak menepati perkataannya.
Hening.

Setelah Fang meninggalkan ruang OSIS, hanya keheningan yang melingkupi. Yaya menatap Gempa dengan bingung. Pasalnya, setelah berdebat singkat dengan Fang, Gempa menjadi lebih murung.
'Maafkan aku, Fang.'

"Kenapa, Gempa?" Gempa menoleh ke Yaya yang menatapnya bingung.

"Eh? Tidak apa-apa. Ayo kita ke gedung renang dan pulang!" Ucap Gempa cepat dan langsung keluar dari ruang OSIS setelah Yaya keluar dan ia pun mengunci pintu ruang OSIS itu.

"Kau yakin?"

"Air tidak membalas pesanku. Dan sekarang, poselku mati total." Gempa menunjukkan ponselnya yang kehabisan batrei.

"Kau lupa men-charger ponselmu lagi?" Yaya menatap Gempa menyelidik.

"Hehehe… sepertinya iya." Gempa menggaruk-garuk dagunya yang tidak gatal. "Oh ya, ponselmu mana, Yaya? Bisa ku pakai?"

Yaya menghentikan jalannya. Gempa pun menghentikan langkahnya semeter lebih di depan Yaya. Gadis itu menatap Gempa dengan terbelalak, seolah-olah mengingat sesuatu yang amat di lupakannya. "Hehehe… sepertinya aku melupakan ponselku di rumah." Cengir Yaya membuat Gempa sweatdrop di tempat.

"Sama saja dong." Gempa kembali melanjutkan jalannya.

'Kok perasaanku tidak enak.'
.
.
.
Bersambung...?

Karangan : NaYu
Facebook : https://www.facebook.com/nabilah.sgm

Terimakasih.



1 comment:

Fanfic : BoBoiBoy